Langsung ke konten utama

Klik Folder Semester 1 dan Membuka File Logpenil UAS Argumentative Essay

Itulah hal yang kulakukan ketika sedang iseng-iseng membuka file-file lama dari external harddiskku. Semester 1, 5 semester yang lalu. Tulisan ini adalah tulisan yang kukerjakan dalam rangka mengerjakan tugas UAS kelas Logika Penulisan Ilmiah. Aku inget banget semua buku yang kupakai dalam esai ini kupinjam dari perpustakaan pusat yang masih lama sebelum akhirnya sekarang berubah menjadi seperti rumah Teletubbies. Perpustakaannya masih belum berada sedekat sekarang karena dulu aku harus melewati FIB dulu. Aku yang waktu itu masih belum mahir menyetir dan kalau parkir di perpustakaan pusat hampir menyerempet pohon, haha..
Gara-gara tugas UASku ini, sampai sekarang aku mempersepsikan bahwa literatur yang super banyak itu memengaruhi nilai seseorang. Semakin banyak isi daftar pustaka, maka semakin tinggi nilaimu, haha.. Aku inget dulu aku selalu berpikir "setiap kalimat yang kamu tulis harus ada sumbernya". Aku masih sangat hati-hati dalam menulis mengingat jaman maba menulis masih dianggap momok apalagi karena kasus plagiarisme yang waktu itu heboh-hebohnya gara-gara PSAF. Yaahh, beginilah tulisanku ketika semester 1. Beda jauh gak ya dengan aku yang sekarang? Semoga saja aku semakin berkembang. BTW, kalau boleh sombong sedikit, aku suka dengan tulisanku yang ini karena ini kali pertama aku merasa aku benar-benar ilmiah dalam menulis :p
Semoga isinya bermanfaat buat teman-teman semuanya, ayo menangani amarah tanpa amarah :)

Penanganan Marah dengan Efektif Tanpa Merugikan Diri
Tugas Esai Argumentatif Pengganti UAS Logika Penulisan Ilmiah 2010
Christ Billy Aryanto

Abstrak

Katarsis sering dianggap sebagai penanganan amarah yang efektif, karena mudah untuk dilakukan dan dapat melampiaskan dan melepaskan segala emosi kita dengan cepat. Sayangnya ternyata hal yang banyak dianut oleh banyak ini salah karena dapat merugikan diri sendiri dan menyebabkan kita berperilaku self-defeating. Terdapat cara penanganan amarah dan agresi yang lebih efektif contohnya seperti meminta maaf. Diharapkan kita bisa lebih bijak lagi dalam bertindak untuk menangani amarah yang terdapat di dalam diri kita dan tidak melakukan self-defeating behavior dalam menangani marah.

Kata kunci : katarsis, self-defeating, marah, agresi, efektif

Jumlah Kata : 1213 kata

Pernahkah anda merasa sangat marah sehingga keputusan yang anda buat menjadi tidak rasional? Amarah yang dapat merugikan diri kita merupakan salah satu bentuk self-defeating behavior. Saat kita sedang marah atau kesal, suasana hati kita akan menjadi tidak baik dan membuat seseorang akan cenderung untuk membuat keputusan yang beresiko tinggi (Leith & Baumeister, 1996). Katarsis dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengatasi amarah, namun katarsis tidak selamanya baik dan dapat merugikan diri sendiri. Katarsis bukanlah cara efektif untuk mengatasi amarah dan terdapat cara lain yang lebih efektif tanpa merugikan diri.
Marah adalah perasaan ketidaksenangan atau kekesalan karena mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan (Duffy & Atwater, 2005) dan membuat beberapa orang menjadi lepas kendali (Larsen & Buss, 2010). Marah dapat dikategorikan sebagai perilaku self-defeating behavior dengan strategi kontraproduktif (Baumeister & Scher, 1988), karena marah yang tidak dikendalikan akan membuat seseorang menjadi agresif dan membuat mereka melakukan agresi atau penyerangan. Self-defeating behavior dengan strategi kontraproduktif sendiri, yang bisa dikatakan sebagai self-defeating behavior yang tidak sengaja, adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dimana sebenarnya seseorang tidak berkeinginan dan tidak menduga akan bahayanya terhadap diri sendiri, namun orang tersebut mengejar beberapa tujuan dengan memilih metode atau pendekatan yang mencegah hasil yang diinginkannya (Baumeister & Scher, 1988). Hal ini terjadi dikarenakan orang salah menilai bahwa beberapa tindakan sebagai strategi yang efektif dilakukan.
Katarsis merupakan salah satu cara untuk mengurangi amarah seseorang. Katarsis adalah mengekspresikan agresi kita sebagai usaha untuk mengurangi amarah (Taylor et al., 2006), atau dengan kata lain melepaskan emosi yang tertahan dan melampiaskan amarah kita (Myers, 1998). Menurut Myers (1998) cara melakukan katarsis adalah dengan melampiaskan amarah kita baik melalui perlakuan agresif atau hanya dengan membayangkannya saja. Berdasarkan teori dari katarsis bahwa seseorang yang sedang marah mengekspresikan rasa agresif yang ada di dalam dirinya dengan cara yang relatif aman, maka orang tersebut tidak akan terlibat dalam bentuk agresi yang lebih berbahaya lagi (Baron & Byrne, 1997). Beberapa cara aman yang orang-orang ambil untuk mengekspresikan rasa agresif yang ada di dalam dirinya adalah dengan menonton film kekerasan, menyerang benda-benda mati baik secara fisik maupun hanya dengan kata-kata.
Namun penelitian terkini mengatakan bahwa katarsis sebenarnya malah menambah agresi seseorang daripada menguranginya. Melepaskan seluruh amarah kita memang akan untuk sementara menenangkan orang yang sedang marah, tetapi hal itu juga dapat memperkuat dendam seseorang terhadap orang lain (Myers, 1998). Menurut Duffy dan Atwater (2005), memang banyak orang yang mengatakan bahwa bila kita sedang sangat marah maka lumrah bila kita menumpahkan segala emosi kita dan mengeluarkannya daripada ditahan di dalam hati. Karena menahan amarah malah banyak menjurus ke masalah-masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, menambah resiko terkena serangan jantung, depresi, dan rasa ingin bunuh diri. Bertolak belakang dengan apa yang orang-orang tahu, menumpahkan segala amarah kita atau katarsis menjadi hal yang tidak efektif dalam mengurangi agresi dari seseorang. Karena menurut Baron dan Byrne (1997), melakukan katarsis atau bentuk dari agresi yang aman hanya akan menguras tenaga saja dan hal tersebut yang mampu secara sementara mengurangi rasa kesal yang ada di dalam diri seseorang. Tetapi perasaan marah itu akan dengan cepat kembali bila orang tersebut bertemu dengan sumber yang menjadi penyebab amarahnya atau bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Oleh karena itu, katarsis yang banyak dilakukan orang-orang menjadi kurang efektif untuk mengurangi agresi dalam jangka panjang meskipun memang membantu di jangka pendek. Akibatnya, secara tidak langsung kita merugikan diri kita sendiri dan melakukan self-defeating behavior.
Franzoi (2009) memberikan cara yang lebih efektif dalam penanganan amarah, pertama dengan mengajarkan seseorang dengan contoh, maksud dari contoh di sini ada contoh-contoh dari sikap non-agresif. Bila seseorang melihat orang lain yang bersikap non-agresif, khususnya anak-anak, maka orang tersebut akan cenderung untuk mengikuti sikap non-agresif. Karena hal tersebut, maka agar penanganan amarah ini efektif lebih baik bila seseorang tidak mengalami banyak paparan terhadap contoh-contoh sikap agresif, seperti pada film-film atau acara televisi yang mengandung kekerasan (Baron & Byrne, 1997). Seperti teori dari Bandura (1986, dalam Feist & Feist, 2006) tentang belajar melalui observasi, observasi menjadi proses belajar yang lebih efektif dibandingkan pengalaman secara langsung. Bila apa yang orang tersebut observasi kebanyakan adalah tingkah laku yang agresif, maka orang tersebut akan cenderung banyak melakukan hal-hal yang agresif juga. Oleh karena itu, Baron dan Byrne (1997) menyarankan agar seseorang lebih banyak dipaparkan dengan sesuatu yang non-agresif karena seperti pendapat dari Franzoi (2009) bahwa seseorang akan mencontoh sikap-sikap yang ada di sekitarnya.
Cara lain yang efektif untuk mengurangi sikap agresif dan juga amarah adalah dengan belajar meminta maaf. Berdasarkan penelitian dari Ohbuchi dan rekan-rekan kerjanya (1989, dalam Franzoi, 2009) meminta maaf secara signifikan mengurangi permusuhan dari orang yang dimintai maaf. Penelitian ini sangat penting karena hanya dengan menawarkan permintaan maaf saja dapat meredakan agresi dari permusuhan yang lain. Baron dan Byrne (1997) memberikan contoh bila saat kita sedang berbelanja di sebuah pasar swalayan, tiba-tiba ada seseorang yang menabrak troli kita tetapi orang tersebut langsung meminta maaf karena sudah menabrak troli milik kita, maka keinginan untuk marah tidak akan keluar karena kita bisa menerima permintaan maaf dari orang tersebut.
Cara penanganan lainnya adalah dengan mengajarkan seseorang untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain (Baron & Byrne, 1997). Salah satu alasan mengapa sesesorang terlibat dalam suatu pertengkaran adalah karena mereka kurang bisa berkomunikasi dengan baik dan menggunakan amarah untuk menyampaikan sesuatu. Hal ini dikarenakan mereka tidak tahu bagaimana merespon sesuatu dengan baik karena mereka kurang terampil dalam bersosialisasi.
Menurut Micheners, DeLamater, dan Myers (2004) salah satu penanganan yang efektif dilakukan adalah dengan mengurangi frustrasi. Kebanyakan agresi yang dilakukan seseorang dikarenakan seseorang mengalami frustrasi dan semakin kuar rasa frustrasi yang terdapat di dalam diri seseorang, maka semakin kuat agresi yang dilakukan seseorang (Micheners et al., 2004). Frustrasi biasanya terjadi karena seseorang mengalami konflik dengan orang lain, oleh karena itu untuk mengurangi frustrasi tersebut maka yang harus diselesaikan adalah konflik yang terjadi, baik dengan membicarakannya baik-baik, ataupun dengan seorang mediator.
Penanganan lainnya yang diberikan Micheners dan kawan-kawannya adalah memberikan hukuman untuk menekan agresi. Namun hukuman ini haruslah hukuman yang logis dan tidak melanggar norma-norma sosial yang ada. Karena jika hukuman yang diberikan secara asal-asalan, maka yang terjadi bukannya menekan agresi yang ada namun malah menambah agresi yang ada di dalam diri seseorang.
Dari semua cara yang ada, cara meminta maaf dan mengajarkan seseorang dengan contoh-contoh sikap non-agresif dan menjauhkan dari paparan sikap-sikap agresif adalah hal yang paling efektif dilakukan. Meminta maaf menjadi hal yang paling efektif karena meminta maaf adalah hal yang mudah dilakukan oleh semua orang sehingga tidak perlu memakan tenaga yang banyak untuk meminta maaf. Yang perlu seseorang lakukan adalah untuk belajar meminta maaf dan mengakui kesalahan agar tidak terjadi konflik dengan sesama kita, karena konflik dapat menumbuhkan rasa amarah dan menyebabkan orang tersebut melakukan agresi (Micheners et al. 2004) Mengajarkan seseorang contoh-contoh sikap non-agresif dan menjauhkannya dari paparan sikap-sikap agresif efektif dilakukan karena bila seseorang, terkhususnya anak-anak, tidak banyak melihat sikap-sikap agresif, maka mereka tidak akan mencontoh sikap-sikap tersebut. Sesuai dengan teori dari Bandura (1986, dalam Feist & Feist, 2004) tentang belajar melalui observasi, bila tidak ada yang memaparkan sikap-sikap agresif, maka mereka akan mencontoh sikap-sikap non-agresif.
Dapat disimpulkan bahwa katarsis sebaiknya tidak seseorang lakukan karena hanya akan mengurangi amarah sementara saja dan akan tetap menyimpan dendam dan sikap agresif di jangka panjangnya. Seseorang harus bijak dalam penanganan amarahnya dan harus bisa menangani amarah yang ada di dalam dirinya tanpa harus merugikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya, karena hal tersebut merupakan bentuk dari self-defeating behavior.
  
Daftar Pustaka
Baumeister, R. F., Scher, S. J. (1988). Self-defeating behavior patterns among normal individuals: Review and analysis of common self-destructive tendencies. Psychological Bulletin, 104, 3-22.
Baron, R. A., Byrne, D. (1997). Social psychology (8th ed.). Massachusetts: A Viacom Company.
Duffy, K. G., Atwater, E. (2005). Psychology for living: Adjustment, growth, and behavior today (8th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Feist, J., Feist, G. J. (2006). Theories of personality (6th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Franzoi, S. L. (2009). Social psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, inc.
Larsen, R. J., Buss, B. M. (2010). Personality psychology: Domains of knowledge about human nature (4th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc
Leith, K. P., Baumeister, R. F. (1996). Why do bad moods increase self-defeating behavior? Emotion, risk taking, and self-regulation. Journal of Personality and Social Psychology, 71, 1250-1267.
Michener, H. A, DeLamater, J. D., Myers, D. J. (2004). Social psychology (5th edi.). California: Thomson Learning, Inc.
Myers, D. G. (1998). Psychology (5th ed.). New York: Worth Publishers, Inc.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., Sears, D. O. (2006). Social psychology (12th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak dan Ibunya yang sedang Menyulam

Seorang anak melihat ibunya sedang menyulam di ruang tamu. Sang ibu duduk di sebuah kursi santai dan mulai menyulam dengan tenang. Tampak telaten ibu tersebut memasukkan benang ke dalam jarum, mulai menusukkan jarum ke kain sulamannya, dan mulai menyulam perlahan-lahan. Sang anak yang penasaran dengan apa yang ibunya lakukan mendatangi ibunya. Dia berlari kecil ke hadapan ibu, dan menarik-narik celana ibunya untuk mendapatkan perhatian dari ibunya. "Ibu ibu, sedang apa sih ibu?". "Ibu sedang menyulam sayang, ibu sedang membuat menyulam gambar seorang anak yang sedang berdoa.". "Ooohhh, hebat sekali ibu." Jawab anak tersebut dengan kagum. Ibu tersebut hanya bisa tersenyum mendengar komentar anaknya. Tidak berapa lama, anaknya kembali bertanya kepada ibunya "Bu, kok sulamannya tidak berbentuk seperti anak yang sedang berdoa? Kelihatannya malah seperti benang kusut?". Ibunya diam saja namun tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang berada di

Sindroma Kepala Dua

Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa. Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai as

Mengejar Trotoar

I've made up my mind, Don't need to think it over If I'm wrong, I am right Don't need to look no further, This ain't lust I know this is love But, if I tell the world I'll never say enough 'cause it was not said to you And that's exactly what I need to do If I end up with you [Chorus] Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements? Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere I build myself up And fly around in circles Waitin' as my heart drops And my back begins to tingle Finally, could this be it [Chorus] Or should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would