Langsung ke konten utama

Sesuap Nasi atau Sepeser Uang?

Emir turun dari kendaraan umum dan membayar bapak yang mengemudikan angkot yang tadi ditumpanginya dengan uang pas. Dia melihat jam tangan dan ternyata les baru di mulai 45 menit lagi. Keberangkatannya dari rumah yang sangat cepat, karena tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan di rumah, membuatnya tiba di tempat les secepat ini. Dengan membawa tas bergambar tuts piano khas dari tempat les yang diikutinya, akhirnya dia memutuskan untuk mengunyah beberapa kentang goreng dan meminum teh lemon di sebuah restoran cepat saji yang terletak di seberang tempat les. Emir menyebrang, tiba sebuah restoran cepat saji, masuk, dan langsung memesan karena kebetulan tempat tersebut sedang sepi. Dia menghabiskan waktunya untuk makan, minum, dan membuka situs-situs jejaring sosial melalui telepon genggamnya.

Dibacanya jam di restoran cepat saji tersebut dan kurang dari 10 menit les akan dimulai. Emir segera membereskan meja tempatnya makan, mengambil tasnya, dan segera beranjak keluar. Di luar, seorang anak berpakaian kumal usia SD dengan kantong plastik hitam yang terdapat beberapa bungkus tisu kecil di dalamnya mendatanginya dan menawarkan dagangannya.
"Kak beli tisu kak, satu bungkusnya dua ribu rupiah kalau beli tiga lima ribu rupiah." Kata anak penjual tisu tersebut dengan kata-kata yang sudah diaturnya.
"Maaf ya dek, saya lagi tidak butuh tisu." Jawab Emir sambil sedikit mengangkat tangan kepada anak tersebut dan tetap berjalan untuk berusaha menyebrang jalan agar sampai di tempat lesnya.
"Yah kak beli dong, saya lapar kak." Pinta anak tersebut.
Emir yang tadinya mau menyebrangi jalan terdiam sejenak dan menoleh ke arah anak tersebut, "Kamu lapar?" Tanya Emir dan dibalasnya dengan anggukan dari anak tersebut.
Tanpa bertanya lagi kepada anak itu, Emir langsung masuk ke dalam restoran cepat saji tempat tadi dia makan dan membeli paket nasi dan ayam beserta sekotak teh. Anak tadi tampak kebingungan menunggu di luar dan menatap Emir dengan heran denga wajah tidak mengerti apa tujuan Emir di dalam restoran.

Setelah Emir mendapatkan pesanannya, dia kembali kepada anak itu dan dengan tersenyum dia memberikan sebuah plastik yang berisi paket nasi dan ayam dengan sekotak teh didalamnya.
"Tadi kamu bilang kamu lapar kan? Ini sudah kubelikan makanan buat kamu." Katanya sambil menyodorkan plastik tersebut.
"Yah kakak, beli tisunya aja dong kak. Satu bungkusnya dua ribu rupiah kalau beli tiga lima ribu rupiah." Tolak anak penjual sambil mengulang kata-katanya tadi.
Raut heran muncul di muka Emir, kembali Emir berusaha memberikan makanan yang sudah dibelinya kepada anak tersebut "Ya sudah tidak apa-apa, ini aku kasih ayamnya. Tisunya nggak usah kamu kasih ke aku, buat kamu jual aja ke orang lain."
"Nggak mau kak, aku maunya kakak beli tisu ini kak." Kembali anak tersebut menawarkan tisunya.
"Kalau begitu kenapa kamu tadi bilang kamu lapar?" Tanya Emir sedikit kesal.
"Soalnya biasanya kalau bilang lapar, orang-orang langsung beli tisunya kak." Jawab anak tersebut polos.
Emir terdiam dengan mulutnya yang sedikit terbuka memandangi anak tersebut. Mengingat waktu untuk dirinya les sudah dimulai, Emir yang kesal tidak menghiraukan lagi anak tersebut dan langsung menyebrangi jalan menuju tempat lesnya.
"Kak, jadi mau beli tisunya?" Teriak anak tersebut, tapi Emir tidak menoleh.

Di dalam tempat les, Emir segera menuju studio piano yang berada di lantai dua. Disambutnya Emir dengan seorang pria berkemeja polos terang yang adalah guru pianonya.
"Kok tumben telat? Ada apa di jalan?" Tanya guru pianonya, kak Teguh.
"Tadi sudah datang lebih awal sebenarnya, tapi makan di depan dulu terus ada anak yang jualan tisu gitu. Panjang deh kalau diceritain." Jawab Emir sambil duduk di kursi yang ada di depan piano dan meletakkan barang-barangnya di meja dekatnya.
"Lah itu kamu belum makan memang? Kok bawa-bawa ayam ke sini?" Kembali kak Teguh bertanya sambil mencium ayam yang tadi dibawa Emir.
"Ini salah satu bagian dari cerita panjang yang kubilang tadi kak. Entar deh pas mau pulang kuceritain." Kata Emir sambil mengikat plastik yang berisi ayam dengan harapan isinya tidak terjatuh dan baunya tidak tercium kemana-mana.
"Baiklah kalau gitu, keluarkan bukunya dan ayo mainkan lagu yang jadi PR minggu kemarin. Sudah dilatih kan?" Kata kak Teguh, seraya Emir mengeluarkan buku-buku bahan les dari tasnya. Akhirnya les pun dimulai dengan aroma semerbak ayam memenuhi studio.

*

45 menit sudah waktu berlalu, les berakhir dengan Emir yang sudah menceritakan kejadian di restoran cepat saji yang membuat dirinya terlambat datang ke tempat les. Sempat dibahas tentang betapa sulitnya mencari uang hingga akhirnya makanan pun ditolak untuk mendapatkan uang. Istilah mencari sesuap nasi bergeser menjadi mencari sepeser uang. Emir yang telah mengemasi barang-barangnya akhirnya keluar dari ruang studio menuju ke depan tempat les untuk mencari angkot menuju ke rumahnya. Dirinya menyebrang dan berjalan sedikit menuju ke tempat di mana angkot biasanya menunggu dan mencari penumpang.

Setelah berjalan sesaat, dari kejauhan Emir melihat seorang pemuda yang tampak lemas duduk beralaskan kardus di pinggir jalan sambil menengadahkan tangannya. Larut dalam pikirannya, Emir berpikir mengapa seseorang yang masih muda seperti ini malah meminta-minta di pinggir jalan dan bukannya mencari pekerjaan. Seorang pemuda yang masih memiliki kuat untuk bekerja, berkarya, dan melakukan apapun yang dia inginkan bila diusahakannya. Emir terus berjalan sampai akhirnya berada di dekat pemuda tersebut dan orang tersebut langsung menengadahkan tangannya ke depan Emir. Terdiam sejenak di depan pemuda tersebut, ditatapnya pemuda yang lemas itu dan meminta-minta dengan wajah memelas.

"Mas mau makan?" Kata Emir sambil sedikit berjongkok dan menyodorkan plastik berisi paket ayam dan nasi dengan sekotak teh di dalamnya.
"Hah? Apa ini mas?" Tanya pemuda itu kebingungan.
"Tadi saya beli makanan kelebihan mas, ini buat mas saja." Jawab Emir kembali menawarkan makanannya.
Pemuda tersebut menatap kantong plastik yang dipegang Emir, orang tersebut kemudian berkata "Mas punya duit aja nggak?"
Emir menarik kembali kantong makanan dengan kaget karena tidak menyangka dengan jawaban orang tersebut "Mas.... Kenapa nggak mau?"
"Kalau dikasih duit bisa gue pakai buat apapun, gue bisa beli apapun, gue juga bisa beli makanan. Lo kasih makanan cuman bisa bikin kenyang bentar doang."
Emir malas berargumen dengan orang yang baru dia temui di pinggir jalan tersebut. Pemuda tersebut mempunyai pemikirannya sendiri dan Emir juga punya, walaupun menurut Emir cara pikir orang tersebut salah. Emir langsung merogoh kantong celananya dan memberikan uang seribu rupiah kepada pemuda tersebut dan kemudian pergi.
"Makasih mas, kok cuman seceng?" Kata pemuda itu. Entah kata-kata tersebut bercanda atau serius, semakin kesal Emir mendengarnya dan langsung meninggalkannya tanpa berkata-kata. Tidak bersyukur sekali orang tersebut padahal sudah ditawari makan dan diberikan uang walau seadanya. Emir melihat angkot yang akan ditumpanginya dan kemudian berlari kecil mengejar angkot tersebut. Emir naik ke dalam angkot dengan muka yang masam mengingat kejadian yang tadi terjadi.

*

Di dalam angkot, Emir yang berada di pojokan angkot yang lengang memandang keluar dan memikirkan dua orang tadi. Emir tak habis pikir mengapa kedua orang tersebut tidak mau menerima makanan yang sudah dibelinya, dipikiran Emir kedua orang itu pasti mencari uang untuk bisa makan. Pikiran positifnya membuat dirinya berpikir mungkin mereka lebih membutuhkan uang karena digunakan untuk membayar uang sekolah, membuka usaha, atau ditabung untuk kebutuhan tidak terduga lainnya. Di sisi lain dia berpikir mereka tidak bersyukur dengan pemberian orang lain, uang yang mereka dapatkan bisa mereka hemat karena tidak perlu lagi membeli makanan. Kembali dia memikirkan perbincangan singkat dengan kak Teguh yang menyatakan bahwa istilah mencari sesuap nasi sudah tergeser dengan istilah mencari sepeser uang. Apakah mendapatkan uang lebih membahagiakan daripada perut yang terisi? Emir akhirnya tidak mau mengambil pusing apa yang tadi terjadi dan dipandanginya paket ayam dan nasi yang sudah mulai dingin yang ada di genggaman. Pikirnya akan dimakan sendiri saja makanan yang sudah dibelinya ini di rumah.

Tak terasa dua puluh menit sudah berlalu dan Emir sudah hampir sampai di depan komplek rumahnya. Dia menyetop angkot tersebut, keluar, dan membayar pengemudi angkot tersebut. Kembali ditempuhnya perjalanan menuju rumahnya dengan berjalan kaki, tak jauh rumahnya dari mulut gerbang komplek perumahan tempat dia tinggal. Di sebuah pertigaan dekat dengan rumahnya, Emir melihat seorang ibu paruh baya dengan menggunakan baju yang sudah sobek dan rok yang kotor. Emir tahu memang di kompleknya terkadang ada pengemis yang meminta-minta dari satu rumah ke rumah lain meskipun tidak banyak. Emir sedikit memperlambat langkahnya saat melihat ibu yang sudah tidak muda tersebut, rasa iba muncul di dalam Emir. Ibu tersebut melihat ke arah Emir dan mulai mendekat ke arahnya.

"Nak, saya minta uang sedikit saja. Saya mau membeli makan." Kata ibu itu sambil menengadahkan tangannya dan memegangi perutnya, terdengar lirih suara ibu tersebut.
Karena tidak mau mengulang kejadian dengan dua orang yang tadi ditemuinya, Emir bertanya "Ibu benar-benar lapar kan?"
"Iya nak, saya dan kelima anak saya di rumah belum makan dari pagi." Jawabnya dengan nada sedih.
Emir tertegun mendengar bahwa ternyata ibu tersebut dan anak-anaknya belum makan. Kembali Emir memastikan bahwa ibu tersebut mau menerima makanan yang dimilikinya daripada uang. "Saya ada sedikit makanan bu, tetapi saya tidak tahu apakah cukup untuk satu keluarga. Ibu mau?"
"Tidak apa-apa nak, apapun yang kamu berikan ibu ikhlas."
Emir kemudian menyodorkan plastik makanan yang daritadi dibawanya kepada ibu tersebut, "Ini bu, ada sedikit makanan buat ibu. Maaf ya bu sudah dingin."
Wajah ibu itu kemudian berseri-seri, diambilnya makanan dengan tangan sedikit gemetar "Terima kasih banyak ya nak, tapi saya tidak bisa kasih apa-apa ke kamu."
"Oh tidak apa-apa kok bu, ibu ambil saja makanannya." Kata Emir sambil tersenyum karena akhirnya ada yang mau menerima makanan yang daritadi dibawanya.
"Terima kasih banyak, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah ya. Ini bisa untuk makan anak-anak saya." Kata ibu tersebut sambil perlahan meninggalkan Emir.
Emir sedikit tertegun, makanan yang tidak seberapa itu masih mau dibagi-bagikannya kepada anak-anaknya. Emir mematung melihat ibu tersebut perlahan-lahan pergi. Ternyata kebahagiaan seseorang tidak selalu harus dari uang pikirnya.

Emir melanjutkan perjalanannya menuju ke rumahnya yang tidak jauh dari pertigaan tempat dirinya bertemu ibu tersebut. Dia terharu melihat betapa ibu tersebut walaupun dalam kekurangannya, dia masih memikirkan anak-anaknya yang belum makan dan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Kemudian dia berpikir hal apakah yang membuatnya bisa bertemu dengan tiga orang tersebut? Tiada angin tiada badai, dari sesampai dirinya di tempat les, ada saja kejadian menarik yang terjadi. Emir kemudian tersenyum mengingat pertemuannya dengan ketiga orang berbeda dengan sikap yang berbeda terhadap paket ayam dan nasi beserta sekotak teh. Ternyata ada orang yang berpikir uang adalah segalanya, tetapi ada juga yang bisa bahagia dengan paket ayam dan nasi. Emir kemudian masuk ke dalam rumah dengan pelajaran berharga yang didapatkannya selama kepergiannya beberapa jam.

21 Agustus 2012
CBA

*Dibutuhkan tiga hari untuk menuliskan cerpen ini, haha.. Aku sedang ingin menulis, meskipun tulisannya kurang bagus menurutku :p

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak dan Ibunya yang sedang Menyulam

Seorang anak melihat ibunya sedang menyulam di ruang tamu. Sang ibu duduk di sebuah kursi santai dan mulai menyulam dengan tenang. Tampak telaten ibu tersebut memasukkan benang ke dalam jarum, mulai menusukkan jarum ke kain sulamannya, dan mulai menyulam perlahan-lahan. Sang anak yang penasaran dengan apa yang ibunya lakukan mendatangi ibunya. Dia berlari kecil ke hadapan ibu, dan menarik-narik celana ibunya untuk mendapatkan perhatian dari ibunya. "Ibu ibu, sedang apa sih ibu?". "Ibu sedang menyulam sayang, ibu sedang membuat menyulam gambar seorang anak yang sedang berdoa.". "Ooohhh, hebat sekali ibu." Jawab anak tersebut dengan kagum. Ibu tersebut hanya bisa tersenyum mendengar komentar anaknya. Tidak berapa lama, anaknya kembali bertanya kepada ibunya "Bu, kok sulamannya tidak berbentuk seperti anak yang sedang berdoa? Kelihatannya malah seperti benang kusut?". Ibunya diam saja namun tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang berada di

Sindroma Kepala Dua

Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa. Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai as

Mengejar Trotoar

I've made up my mind, Don't need to think it over If I'm wrong, I am right Don't need to look no further, This ain't lust I know this is love But, if I tell the world I'll never say enough 'cause it was not said to you And that's exactly what I need to do If I end up with you [Chorus] Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements? Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere I build myself up And fly around in circles Waitin' as my heart drops And my back begins to tingle Finally, could this be it [Chorus] Or should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would