Langsung ke konten utama

A Thought in One Morning

Pagi ini aku bangun jam 6.30 dan tidak bisa tidur lagi -_- terus jadinya buka-buka Twitter deh dan aku membaca 3 kutipan ini dari tweetnya Reader's Digest Indonesia


Entah kenapa 3 tweet ini bisa di tweet secara berurutan dan pas aku baca langsung aku screen capture dan ketawa-ketiwi sendiri bacanya. Kenapa? Ini alasannya:
Mari kita mulai dari tweet paling bawah (yang pertama di tweet). Kalimat tersebut dikutip dari Haruki Murakami, seorang penulis dari Jepang yang sudah pernah menang penghargaan beberapa kali. Jujur aku belum pernah baca bukunya dia tapi nama dia sangat akrab di telingaku. Hal pertama yang terlintas di otakku pertama kali saat aku baca ini adalah "filsuf" dan aku langsung tertawa *sendirian di kamar FYI*. Beberapa hari ini, aku sering mendengar dan membicarakan filsuf-filsuf. Well, sebut saja Jacques Derrida, Georg Wilhelm Fredrich Hegel, Soren Kierkegaard, dan teman-temannya. Aku langsung berpikir "Jadi artinya aku dan teman-temanku membaca buku yang sama?". Memang saat membicarakan para filsuf ini teman-temanku sepertinya sangat memahaminya karena mungkin mereka disebut-sebut dalam kuliah mereka. Aku belajar sendiri tentang mereka karena di kampus aku tidak begitu mendalami tentang modernisme, postmodernisme, marxisme, dialektika apapun itu, dan teman-temannya, yang kupelajari di kampus adalah sejarah psikologi yang mencuatkan nama-nama seperti Galen dan Socrates sama filsafat manusia yang memunculkan Friedrich Nietszche, Jean-Paul Sartre, dan tentu saja Kierkegaard juga (one of my favorite :p). Aku dan teman-temanku yang berasal dari latar pendidikan yang berbeda-beda akan memiliki pemikiran yang sama dan jadi 'nyambung' saat ngobrol ya karena kita baca buku atau artikel atau suatu tautan dari internet. Tidak apa punya pikiran yang sama dengan orang lain, setidaknya itu membuat kita bisa ngobrol dengan 'nyambung' dengan orang lain.
Benar juga sih saat kita semua baca buku yang sama, kita akan jadi berpikiran sama seperti orang lain.  Tetapi sebenarnya perlu di operasionalisasi think what everyone else is thinking yang seperti apa? Aku pernah mengutip "You are unique, just like everyone else.". Menurutku, walaupun mungkin semua orang baca buku yang sama, tetapi masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda-beda tentang bacaannya (pemikirannya seperti filsuf yang tadi aku sebut). Aku percaya itu karena saat aku belajar Psikologi Kepribadian, kita mungkin akan membaca suatu teori yang sama dari satu buku yang sama namun terkadang kita akan memiliki cara pikir yang berbeda-beda mengenai satu teori. Misalkan ada tiga mahasiswa yang sama-sama baca buku Theories of Personality dari Feist & Feist dengan edsi yang sama, bisa saja si A akan bilang "Gue suka banget nih sama Sigmund Freud", si B bilang "Menurut gue Abraham Maslow paling top deh", si C bilang "Martin Seligman dong". Tiga orang ini yang sama-sama baca buku yang sama saja sudah memiliki cara berpikir yang berbeda. Favoritism, opini pribadi, prior knowledge, interpretasi masing-masing pembaca, dan lain-lainnya lah yang membuat pikiran manusia berbeda-beda.
Hmm, kalau baca quote yang tadi dan mencoba melihat dari kacamata Haruki Murakami, sepertinya yang mau dia bilang adalah "Masih banyak buku di dunia ini yang belum kamu baca. Jangan cuma baca buku yang orang lain baca aja." Hehe..

Tweet kedua tentang happiness. Kutipan ini yang mengatakan adalah Dalai Lama yang sekarang masih hidup (d'oh), ya semua tahu lah siapa Dalai Lama yang hidupnya sepertinya aman, tentram, damai sejahtera, dan kalau cari fotonya di Google tampaknya wajahnya selalu tersenyum. Ini pas banget sama keadaanku sekarang yang tiba-tiba secara random lagi pengin mendalami teori dari Martin E. P. Seligman tentang authentic happiness, teori positive psychology. Baru-baru ini aku baru ngetweet "Kebahagianku sederhana: mendengarkan dan didengarkan.". Apakah benar kebahagiaanku sesederhana itu? Pas baca kutipan dari Dalai Lama ini, aku menganggap kebahagiaan sebenarnya lebih sederhana lagi namun sulit, rumit, dan njelimet *eh?*. Kebahagiaan itu adalah aksi.
Kalau sebel dimarahin orang tua karena kamar berantakan, hal yang dilakukan adalah membersihkan kamar. Saat bersih, orang tua senang dan diri pun senang. Kalau kesel karena nilai jelek terus, hal yang dilakukan adalah belajar sebelum ujian. Saat mendapatkan nilai bagus, gurunya senang dan diri pun senang. Kalau kesel gak punya uang, hal yang dilakukan adalah bekerja mencari uang. Saat sudah mendapatkan uang, orang-orang disekitar diri senang (karena gak dihutangin) dan diri pun senang. Kalau kesel jomblo mulu....... Gak jadi deh entar galau :p Anyway, dari yang baru saja kubilang kebahagiaan itu memang benar-benar aksi ya. Aku jadi memikirkan lagi kalau ternyata kebahagiaanku yang tadi aku bilang itu juga sebuah aksi, karena mendengarkan dan didengarkan juga adalah sebuah aksi. Tidak mudah untuk mendengarkan, tidak mudah juga untuk didengarkan. Saat akhirnya aku bisa mendengarkan orang lain dengan baik dan kata-kata didengarkan oleh orang lain, aku bahagia :)

Tweet terakhir, truth. Aku selalu senyum-senyum sendiri saat membicarakan tentang kebenaran, kenyataan. Orang yang mengatakan ini J. K. Rowling dan aku sedikit menghubung-hubungkan dengan latar belakang kehidupannya yang sangat berjuang untuk bisa menulis Harry Potter series. Pepatah terkenal yaitu "kebenaran itu menyakitkan" memang tidak mengada-ada. Iya aku tahu kebenaran itu menyakitkan, tapi saat kamu sudah mengatakannya hatimu langsung terasa plong sudah mengatakannya (atau aku doang ya yang merasakan seperti itu?). Kalau membicarakan tentang kebenaran atau kenyataan ini, aku bisa berjam-jam ngobrol sama seseorang.
Truth is beautiful and terrible thing, bisa dibilang memang begitu sih. Kebenaran adalah hal yang bisa semakin mempererat, tapi bisa juga menghancurkan. Aku pernah membicarakan kebenaran dan kami bisa tertawa bersama dalam membicarakan kenyataan tersebut. Tapi aku juga pernah membicarakan kebenaran namun terlihat raut muka kami serius, bingung, dan sangat berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata agar tidak menyinggung hati satu sama lain. Should be treated with caution, ya aku percaya itu. Aku pernah melihat temanku menangis karena mengetahui suatu kebenaran. Entah kenapa saat ingin membicarakan suatu kebenaran aku merasa berdebar, aku takut salah. Mungkinkah aku hanya cemas? Karena pasca mengetahui kebenaran itu bisa saja menjadi tersenyum lebar atau bisa saja malah terpukul banget. Ibarat emoticon, itu tuh antara :D atau D:

OMG, cuman gara-gara tiga kutipan aku jadi bisa menulis sepanjang ini? Tak kusangka, hahaha...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak dan Ibunya yang sedang Menyulam

Seorang anak melihat ibunya sedang menyulam di ruang tamu. Sang ibu duduk di sebuah kursi santai dan mulai menyulam dengan tenang. Tampak telaten ibu tersebut memasukkan benang ke dalam jarum, mulai menusukkan jarum ke kain sulamannya, dan mulai menyulam perlahan-lahan. Sang anak yang penasaran dengan apa yang ibunya lakukan mendatangi ibunya. Dia berlari kecil ke hadapan ibu, dan menarik-narik celana ibunya untuk mendapatkan perhatian dari ibunya. "Ibu ibu, sedang apa sih ibu?". "Ibu sedang menyulam sayang, ibu sedang membuat menyulam gambar seorang anak yang sedang berdoa.". "Ooohhh, hebat sekali ibu." Jawab anak tersebut dengan kagum. Ibu tersebut hanya bisa tersenyum mendengar komentar anaknya. Tidak berapa lama, anaknya kembali bertanya kepada ibunya "Bu, kok sulamannya tidak berbentuk seperti anak yang sedang berdoa? Kelihatannya malah seperti benang kusut?". Ibunya diam saja namun tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang berada di

Sindroma Kepala Dua

Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa. Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai as

Mengejar Trotoar

I've made up my mind, Don't need to think it over If I'm wrong, I am right Don't need to look no further, This ain't lust I know this is love But, if I tell the world I'll never say enough 'cause it was not said to you And that's exactly what I need to do If I end up with you [Chorus] Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements? Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere I build myself up And fly around in circles Waitin' as my heart drops And my back begins to tingle Finally, could this be it [Chorus] Or should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would