Langsung ke konten utama

Sleeping Guy

“Jadi bagaimana harimu Dawi?”

“Yaa, seperti hari selasa biasanya yah, tidak ada yang spesial, hari yang membosankan seperti hari-hari lainnya.”

Mulai terjadi perbincangan antara Dawi dengan keluarganya selama makan malamnya. Bila Dawi mengatakan hari Selasa yang biasa, memang hari itu adalah hari yang biasa. Semua terasa tak menarik dan membosankan, kembali ke rutinitas dan siklus yang sama setiap hari.

“Terus besok rencanamu apa Wi?” Tanya ibu sambil memberikan sup ayam kepada Dawi.

“Nggak ngapa-ngapain, palingan main basket sebentar, terus langsung pulang.” Jawab Dawi seraya mengambil semangkuk sup ayam yang diberikan ibu.

“Oh iya kak, pulang sekolah jemput gue les ya? Kan sekalian loe pulang, gue diboncengin naik motor loe, yaya?” Pinta Lila, adik Dawi.

“Males ah, udah tau tempat les loe beda arah sama sekolah gue, masih aja minta jemput.”

“Sudah-sudah, lanjutkan makan kalian, malah ngobrol terus jadinya.” Tegur ayah sambil melahap perkedel buatan istrinya.

“Iya ayah. Oh iya Lila, loe entar malem jangan berisik ya, gue mau ngerjain tugas fisika gue nih. Besok harus dikumpulin”

“Cie kak Dawi, loe kan paling nggak bisa fisika, tumben ngerjain fisika sendiri, biasanya juga nyontek temennya, hahaha.” Canda Lila, “Tenang kak, palingan juga gue lanjutin baca novel gue, jadi kerjakanlah fisika itu dengan sebaik-baiknya ya?”

“Iye iye, tumben loe kelihatan bijak gini, hehehe.” Canda Dawi sambil menghabiskan makanannya.

Seusai makan malam kembalilah mereka ke aktivitas mereka masing-masing, ibu mencuci piring dan membereskan meja makan, ayah membaca koran yang tadi pagi tidak sempat dibacanya, Lila mendengarkan MP3 handphonenya sambil melanjutkan membaca novelnya, dan Dawi mengerjakan tugas fisika yang harus dikumpulkan keesokan harinya.

Dawi adalah sulung dari dua bersaudara, adiknya Lila berbeda tiga tahun dengan dirinya. Ayah Dawi adalah seorang manager di sebuah perusahaan swasta asing, dan ibunya seorang pemilik sebuah katering kecil-kecilan. Pagi-pagi buta, ayah pasti sudah berangkat karena dia tidak ingin telat menuju kantor, dan ibu sudah mulai memasak untuk para pelanggan kateringnya. Lila pasti menumpang Dawi bila berangkat sekolah, karena sekolah Dawi dan Lila tidak terlalu beda jauh. Tetapi, meskipun dengan kesibukan mereka berdua yang sangat padat, ayah dan ibu Dawi tidak pernah pulang larut, sehingga mereka semua masih sempat bercakap-cakap dengan akrab setiap malam. Keesokannya, terjadilah siklus, lalu terjadi hal yang sama setiap hari, itu yang rutin terjadi dalam kehidupan Dawi, oleh karena itulah wajar jika Dawi mengatakan hari itu adalah hari yang membosankan.

Malam sudah larut, semua sudah terlelap kecuali Dawi yang masih mengerjakan tugas fisikanya. Lila terbangun dari tidurnya untuk menegak segelas air, melihat lampu kamar Dawi masih menyala, Lila langsung masuk ke kamar Dawi. “Kak, tidur kak, sudah jam 11 malam lebih kak, besok nggak bisa bangun loh, entar gue telat lagi masuk sekolah.”

“Iya La, tinggal dikit lagi nih tugas selesai. Loe tidur aja dek biar besok gak kesiangan juga.”

“Yaudah deh kak, malem ya kak.” Kata Lila sambil menuju kekamarnya sendiri.

Dawi menuliskan rumus-rumus fisika dan mengerjakan satu soal terakhir, hingga akhirnya selesai juga tugas yang diberikan. Dawi melihat jam di handphonenya, sudah pukul 23.29. Dia bangkit dari duduknya dan melakukan segala ritual sebelum tidur, sampai akhirnya tubuhnya tergeletak di tempat tidur dengan lemas. Sambil menutup mata, Dawi memikirkan hal-hal apa yang akan terjadi di esok hari, apakah akan sama membosankan seperti hari-hari biasanya, atau akan ada hal yang terjadi? Semakin larut Dawi dalam pikirannya sendiri, semakin terlelap dia dalam tidur, sampai akhirnya dia tertidur dengan nyenyak.

*

Pagi-pagi hari, tubuh Dawi terasa sangat berat untuk bergerak, mata Dawi tidak bisa terbuka, seluruh indera tubuhnya seperti tidak berfungsi. Berat rasanya untuk Dawi terbangun dari tidurnya, namun yang ada di otak Dawi adalah untuk cepat bangun agar dia tidak terlambat sekolah. Tetapi ada hal yang aneh pagi itu. Dawi mulai berpikir kemana suara alarm dari handphone? Dimana Lila yang biasanya membangunkannya? Dimana cahaya lampu yang biasanya membelalakkan mata Dawi?

Dawi mulai mencium bau-bau asing, bau yang tidak pernah dia cium sebelumnya di dalam kamarnya. Akhirnya, dia mulai menggerakkan jari-jari tangannya, jari-jari kaki, lalu mulai menggerakkan tubuhnya, dan akhirnya membuka mata. Dawi kaget dengan apa yang dilihatnya, tirai putih menggantung disekelilingnya, tempat tidur yang dengan seprai putih bersih, ditangannya terpasang infus, apa maksud semuanya ini? Apa aku masih bermimpi?

Tiba-tiba seorang perempuan dengan baju putih bersih membuka tirai putih itu, dengan wajah sedikit kaget melihat Dawi yang terbangun, dia sedikit berteriak “Ibu, anaknya sudah bangun bu.”

Terdengar pelan langkah kaki ibunya, melihat anaknya sudah bangun, beliau mulai memeluk erat Dawi sambil menitikkan air mata, “Syukurlah Dawi kamu sudah bangun, ibu khawatir tidak bisa melihatmu lagi.”

Dengan kebingungan Dawi bertanya “Ibu kenapa sih? Aku baik-baik saja kok, aku merasa sehat-sehat saja. Tapi bu, kenapa aku bisa ada dirumah sakit?”

Ibu mulai melepas pelukannya dan mengeringkan air matanya, beberapa saat kemudian ibu mulai angkat bicara “Dawi, ibu sendiri juga bingung dengan yang terjadi pada dirimu, ibu juga bingung mau menjelaskan dari mana.”

“Memang ada apa sih bu? Kok aku bisa ada dirumah sakit? Terus aku hari ini gak kesekolah gitu walaupun aku merasa sehat dan segar bugar begini?”

“Iya kamu memang tidak sakit sih, dokter juga bilang kalau kamu sebenarnya tidak ada penyakit apa-apa.” Jelas ibu

“Lalu kenapa Dawi ada dirumah sakit ibu? Ibu tidak menjawab pertanyaanku dari tadi.” Tanya Dawi mulai dengan nada sedikit kesal.

“Itu...... Sebenarnya karena...... Kamu... Ya... Kamu sudah...” Ibu mulai bingung mau berkata apa, beliau mulai terlihat sedang merangkai kata-kata.

“Sudahlah kalau ibu sulit untuk menjelaskan, aku ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit dan segera pulang, aku juga harus menyerahkan tugas fisikaku ke pak Jaya bu, aku ingin membuktikan pak Jaya bahwa aku juga bisa mengerjakan fisika sendiri.” Kata Dawi memotong kata-kata ibu degan nada yang bersemangat.

“Tidak perlu Dawi, kamu sudah tidak bisa mengumpulkan tugas fisikamu itu, dan kamu tidak perlu kesekolah hari ini.”

“Maksud ibu apa sih? Aku dirumah sakit, tidak bisa mengumpulkan tugas, tidak perlu sekolah. Ibu langsung straight to the point aja deh ngomongnya, emang ada apa ibu?” Tanya Dawi penasaran.

“Karena hari ini hari jumat Dawi.” Jawab ibu, “Kamu sudah 3 hari tidur di rumah sakit.”

Dawi terdiam, semua perasaan bercampur menjadi satu. 3 hari tertidur? Apakah ibu bercanda? Apa benar hari ini hari jumat? Bukan hari rabu?

“I.. Ibu tidak bercanda kan?” Tanya Dawi dengan suara melemah.

“Untuk apa ibu bercanda?”

*

Hampir tiga puluh menit sudah ibu menjelaskan segala hal yang terjadi kepada Dawi, apa yang terjadi di rabu pagi, saat Dawi tidak terbangun walaupun sudah dibangunkan berkali-kali, saat dia disiram air, sampai diperiksanya denyut nadi dan nafas Dawi yang melemah itu, dan hingga akhirnya dibawanya Dawi kerumah sakit. Ibu juga menceritakan tentang diagnosa dokter bahwa Dawi hanya tertidur, bahwa Dawi sehat-sehat saja bahkan tidak seharusnya dia berada di rumah sakit, dan bahwa Dawi seharusnya sudah terbangun waktu itu.

Dawi hanya terdiam tanpa kata, sulit dirinya merangkai kata untuk mendeskripsikan segala keanehan yang terjadi pada dirinya, di otak Dawi mulai terbentuk pemikiran-pemikiran yang menurutnya tidak wajar. Sehat? Kalau aku dirumah sakit, memangnya aku sehat? Tertidur tiga hari? Aku yang biasanya hanya tidur lima jam ini bisa tertidur selama tiga hari? Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku sih? Apa ini kutukan karena aku merasa hari-hariku membosankan?

“Wi, kamu tidak apa-apa kan?” Kata ibu membuyarkan lamunan Dawi.

“Oh, iya ibu nggak apa-apa kok, Dawi cuma lagi mikir kok bisa tidur sampai 3 hari.” Jawab Dawi

“Sudah jangan terlalu dipikirkan, nanti malah menambah bebanmu saja terus jadi benar-benar sakit lagi.” Kata ibu dengan nada sedikit bercanda walaupun air mukanya menampakkan wajah khawatir.

“Tenang ibu, Dawi kan sudah bangun, ibu sendiri tadi bilang kan kalau aku sebenarnya sehat-sehat saja. Aku juga ingin kita cepat-cepat pulang saja.” Kata Dawi berusaha menenangkan ibunya.

“Ya sudah, kamu istirahat saja kalau begitu, nanti ibu bicara dengan dokter dan menanyakan kapan kamu boleh keluar dari rumah sakit.”

“Ibu menyuruh aku istirahat padahal aku sudah tidur lebih dari tiga hari?”

“Memang apalagi yang bisa kamu lakukan?” Kata ibu sambil menuju pintu keluar.

Benar kata ibu, memang apalagi yang bisa aku lakukan? Akhirnya Dawi membaringkan tubuhnya, dan mulai menatap langit-langit rumah sakit berwarna putih bersih, sambil bertanya-tanya pada dirinya apa yang sebenarnya terjadi. Terus dicarinya jawaban akan pertanyaan yang dia buat sendiri, namun usahanya bagaikan mencari jarum ditengah jerami.

*

Hari ini hari senin pagi yang cerah, matahari belum terbit, namun Dawi sudah berangkat kesekolah dengan Lila berada di boncengan motornya. Selama diperjalanan, Dawi masih memikirkan hal-hal yang terjadi beberapa hari lalu, hari jumat malam dia pulang dari rumah sakit, dan sepulang dari rumah sakit, dia langsung menuju kamarnya dan tertidur, dan dia terbangun di sabtu pagi seperti biasanya, hingga akhirnya Dawi melakukan aktivitas-aktivitas yang biasa dia lakukan dua hari itu. Semua berjalan seperti biasa. Dawi merasa lega akhirnya dia bisa beraktivitas dengan normal kembali.

Tidak terasa, Dawi sudah sampai di sekolah Lila. Turun dari motor, Lila memberi pesan kepada Dawi “Jangan tidur di sekolah ya? Ngerepotin orang disekolah entar kalau loe tidur nggak bisa dibangunin.”

“Iya adikku manis, belajar yang bener juga loe. Hati-hati ya dik.” Kata Dawi sambil memacu motornya ke sekolahnya yang tidak begitu jauh dari sekolah Lila.

Sesampainya Dawi dikelas, semua teman sekelasnya menghujaninya dengan pertanyaan.

“Loe kenapa Wi gak 3 hari gak masuk sekolah?” Tanya Rudi sang ketua kelas, yang juga teman sebangku Dawi.

“Gue... Ijin keluar kota, nenek gue sakit parah, nggak ada yang jagain.” Jawab Dawi berbohong, karena pikir Dawi bila dijawab dengan alasan tidur selama 3 hari, siapa yang akan percaya? Lalu apa yang akan dikatakan teman-temannya kepada dirinya? Tukang tidur? Beruang sedang hibernasi? Kalong?

“Parah loe Wi 3 hari gak masuk, dicariin tuh sama pak Jaya, ditagih tugas fisikanya.” Ujar Amelia

“Padahal udah gue kerjain mati-matian hari selasa, ternyata nggak kekumpul juga tugasnya.” Sesal Dawi

“Yaudah kumpulin aja hari ini, pelajaran fisika jam pertama kan. Bawa nggak loe tugasnya?”

“Bawa lah Mel, tenang aja.”

“Banyak kejadian yang loe lewatin Wi, sayang banget loe nggak masuk sekolah.” Kata Rudi sambil menepuk punggung Dawi.

“Emang apa aja yang gue ketinggalan?”

Rudi mulai menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi selama tiga hari Dawi tidak masuk, Amelia juga ikut menimpali dan menambahkan hal-hal yang diceritakan Rudi. Mereka bercerita sampai akhirnya bel tanda masuk kelas berbunyi, lalu pak Jaya memasuki kelas. Mereka duduk di tempat duduk mereka masing-masing, dan pelajaran pun dimulai.

Matahari terik menyengat di siang bolong, jam berdetik menunjukkan pukul 12.50. 15 menit sudah bu Damayanti menjelaskan majas-majas yang biasanya dipakai dalam bahasa Indonesia di depan. Namun setiap kata-kata yang terlontar dari mulut bu Damayanti, bagaikan dongeng di telinga Dawi. Sudah berkali-kali Dawi menguap dan berusaha bertahan agar matanya bisa terbuka, namun semua kata-kata yang terlontar dari mulut bu Damayanti tidak ada yang masuk dalam memorinya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, dan masuklah bapak dari bagian tata usaha kedalam kelas, dia berbisik kepada bu Damayanti. Lalu bu Damayanti menyampaikan pesan kepada murid-muridnya, “Anak-anak, kerjakan lembar kerja kalian halaman 36, bagian pertama sampai ketiga, itu semua tentang majas yang baru saja ibu jelaskan. Ibu ingin keluar sebentar, tolong kalian jangan ribut.” Kata ibu Damayanti lalu dijawab oleh para murid. Lalu keluarlah beliau bersama bapak tadi.

Dawi menaruh kepalanya di atas meja, “Gila, ngantuk banget gue dengerin bu Damayanti ngomong melulu, pengin tidur gue sekarang.”

“Kerjain dulu lembar kerjanya, biasanya bu Damayanti nyuruh kumpulin tugasnya kalau entar dia balik lagi.” Kata Rudi sambil mencari halaman yang dimaksud ibu Damayanti.

“Sumpah, gue ngantuk banget. Loe kerjain ya Di, entar gue tinggal lihat, gue pengin tidur bentar.”

“Enak banget loe nyuruh-nyuruh gue kerjain, yang ada enak di loe gak enak di gue.” Tolak Rudi.

“Entar kalau ada tugas bahasa Inggris atau kimia biar gue yang kerjain deh, jadi loe tinggal lihat. Untuk hari ini loe kerjain dulu bahasa Indonesianya, ya?” Pinta Dawi dengan muka sangat mengantuk.

Rudi menghela nafas sejenak, “Iya deh iya gue kerjain tugasnya, tapi beneran ya kerjain tugas bahasa Inggris atau kimia? Gue pegang nih kata-kata loe.”

“Iya beneran kok, thank you ya Di, loe emang temen gue yang paling baik deh.”

“Terserah deh loe mau ngomong apa, yang penting gue mau ngerjain ini tugas dulu, banyak banget lagi tiga bagian.” Kata Rudi mengeluh namun sambil mengerjakan tugas tersebut.

Akhirnya Dawi mulai tertidur, kepalanya sudah berada diatas meja, dan matanya sudah tertutup rapat. Walaupun kelas mulai terdengar riuh dan berisik, namun itu tidak mengusik Dawi. Dia tetap dengan tenang tertidur walaupun kepalanya berada diatas meja yang keras. Lama kelamaan, Dawi larut dalam tidurnya sehingga semua suara teman-temannya yang berisik serasa tidak terdengar lagi.

*

Kok tidak ada yang membangunkanku sih? Sepertinya aku tertidur lama lagi. Orang-orang disekolah jadi pada tahu deh kalau aku mempunyai penyakit bisa tertidur sangat lama, tapi tunggu... Ini bukan penyakit kan kata dokter? Tapi apa? Kelainan? Yasudahlah, lebih baik aku bangun dahulu.

Dawi mulai membuka matanya perlahan-lahan, dia sudah berada di sebuah tempat tidur, pakaian seragamnya sudah berubah dengan pakaian rumah. Dawi mulai menatap sekeliling, dia sangat mengenali tempat dia tidur sekarang ini, dia melihat jam dinding terpampang di dekat pintu kamar pukul 18.45, dia juga melihat seorang perempuan dengan headset di telinganya sambil membaca novel di depan meja belajar kayu. Dawi mulai berusaha bangkit dari tempat tidurnya.

Perempuan itu sadar bahwa Dawi ingin bangkit dari tempat tidur, dia langsung melepas headset yang dipakainya dan meletakkan novel diatas meja belajar, “Kak Dawi akhirnya bangun juga, membuat kita khawatir saja.”

“Aduh Lila, loe udah lama jagain gue dari tadi?” Tanya Dawi sambil berusaha duduk di samping tempat tidurnya walaupun badannya sedikit terhuyung-huyung.

“Sudah hampir seharian kak gue jagain loe, habis ayah lembur, ibu nyediain katering buat ibu-ibu pengajian. Nih kak minum.” Kata Lila sambil memberikan segelas air putih.

Diminumnya segelas air putih itu dua teguk, diberikannya gelas itu kembali kepada Lila, “Kok gue bisa ada di kamar gue? Siapa yang bawa gue pulang?”

“Ayah yang jemput.”

“Ayah tahu darimana?”

“Kak Rudi yang ganteng yang telpon ayah. Terus dia juga cerita, katanya waktu pelajaran bahasa Indonesia kakak tidur di kelas kan? Nah, waktu ibunya dateng, kakak udah dibangunin berkali-kali, tapi nggak bangun juga, cuman anak-anak dikelas kakak nganggepnya kakak cuman akting. Sampai akhirnya deket-deket pelajaran terakhir, kakak tetep nggak bangun juga, terus kakak ganteng itu nelpon ayah deh, langsung dari kantor ayah dateng ke sekolah kakak, diangkut lah kakak menuju kamar ini, dan sekarang kakak baru bangun.” Cerita Lila panjang lebar.

“Oooh, jadi gue ketiduran lama juga di sekolah, malu deh gue ketahuan kalau punya kelainan bisa tidur lama banget.” Kata Dawi sedikit bercanda.

Lila sedikit tertawa mendengar kata-kata Dawi, “Jangan bilang itu kelainan juga lah kak, serem amat kakak gue punya kelainan.”

“Habisnya gue bingung ini kategorinya penyakit atau kelainan atau apaan. Oh iya, guru-guru di sekolah reaksinya apa? Disekolah heboh nggak gue tiba-tiba kayak gini?”

“Wah, tidak tahu kak, kak Rudi kemarin tidak cerita tentang itu.”

Dawi terdiam sejenak mencerna kata-kata adiknya, “Kemarin katamu? Maksudmu tadi siang?”

“Benar kak kemarin, hari ini sudah hari selasa.”

“Apa? Hari selasa? Jadi gue udah tidur dari kemarin siang sampai sekarang baru bangun?” Tanya Dawi kaget dengan mata sedikit terbelalak.

“I.. Iya kak.” Jawab Lila singkat.

Dawi kembali terdiam, dia tidak menyangka bahwa dia bukan tidur selama beberapa jam, melainkan tidur sampai hari sudah berganti. Dawi masih duduk terdiam disamping tempat tidur, Lila berusaha memanggil Dawi, namun Dawi tidak meresponnya. Lila juga ikut terdiam melihat kakaknya yang membisu, membisu karena segala hal yang menimpa dirinya. Apa yang terjadi diriku ini sebenarnya? Apa aku ini sakit? Apa aku memiliki kelainan? Kenapa hal ini harus menimpaku?

Tatapan mata Dawi mulai kosong, otaknya terlalu penuh untuk memikirkan segala kejanggalan yang terjadi pada dirinya, batinnya menyalahkan dirinya sendiri untuk kejadian tidur didalam kelas itu, sebuah kejadian sepele yang membuatnya tertidur selama sehari. Dia berpikir, jika banyak orang mendambakan dirinya bisa tidur dengan tenang ditempat yang damai, Dawi mendambakan dirinya hidup didalam dunia dimana dia tidak perlu tidur dan bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Terserah orang mau mengatakan dia tidak normal atau orang gila, tapi itu adalah yang diinginkan oleh Dawi saat ini.

“Kak Dawi.” Panggil Lila.

“Iya La?” Jawab Dawi sangat lemah.

“Aku harap kakak cepat sembuh kak, agar kakak bisa melakukan kegiatan kakak seperti biasa.”

“Tapi La, aku harus sembuh dari penyakit apa?”

*

Waktu pun terus bergulir, hari demi hari Dawi jalani dengan rasa kuatir bila dia tertidur, namun tidak bangun keesokan harinya. Tapi sudah seminggu tidak terjadi apa-apa pada Dawi, dia tidur dengan normal dan mendapati dirinya bangun dikeesokan harinya, Dawi pun merasa bahwa dia sudah terlepas dari hal aneh yang menimpa dirinya ini.

Namun dugaan Dawi salah, pada hari jumat dia tidur seperti biasa dirumah, dan terbangun pada hari minggu. Kejadian pada hari itu membuat Dawi sangat terpukul dan merasa sangat jatuh. Sampai pada malam harinya, Dawi mengatakan keluhannya kepada orang tuanya.

“Ayah, ibu, aku sudah tidak kuat lagi menanggung beban yang seperti ini.”

“Kenapa Dawi? Kamu sudah satu minggu lebih baik-baik saja kok, mungkin ini hanya kebetulan saja kamu tertidur lebih dari sehari.” Kata ayah.

“Tapi yah, aku capek kalau harus melewati hari-hariku hanya di tempat tidur, tanpa tahu apa aku akan bangun besok.” Kata Dawi dengan nada sedikit tinggi.

“Ayah tahu kalau kamu tidak suka dengan keadaanmu yang sekarang ini, tapi... Ayah sendiri bingung dengan apa yang terjadi dengan dirimu.”

“Sudahlah, mulai hari ini aku tidak akan tidur, aku akan begadang terus sampai suatu saat dimana aku tahu bahwa aku sudah lepas dari hal aneh ini.”

“Tapi Dawi, semua orang butuh istirahat, nanti kamu terlalu lelah untuk...”

“Apa ibu bisa menjamin aku terbangun di keesokan hari?” Kata Dawi memotong kata-kata ibunya.

Ibu hanya terdiam, ayah juga tidak dapat berkata apa-apa.

“Dawi, apa kamu yakin dengan pilihanmu untuk tidak tidur ini?” Tanya ibu.

“Bu, aku takut untuk tidur ibu, aku takut bila aku tidur nanti aku tidak akan bangun keesokan harinya. Aku tak mau melewati hari-hariku hanya dengan tidur yang seperti ini ibu.” Kata Dawi dengan suara yang agak serak, seperti menahan tangis.

“Kamu jangan khawatir nak, kita akan ke dokter lagi nanti untuk menanyakan apa yang terjadi pada dirimu. Buktinya kau sempat tidur dan bangun secara normal selama seminggu lebih.”

“Tapi ibu sendiri yang bilang kan, kalau dokter berkata aku sehat-sehat saja, aku tidak sakit.” Kata Dawi sambil meninggalkan ayah dan ibunya.

Ayah dan ibu saling bertatapan, tampak mereka bercakap-cakap membicarakan kondisi Dawi yang tidak stabil itu, mereka hanya bisa berharap Dawi baik-baik saja, dengan keputusan yang dia ambil itu.

Semenjak saat itu Dawi menjadi anak yang pendiam, disekolah dia tidak banyak bergaul, waktu istirahat dia hanya duduk dikelas tanpa melakukan apa-apa, atau hanya sekedar melihat teman-temannya berlalu lalang. Dia hanya berbicara disaat dia perlu saja, tatapan matanya terlihat sangat lelah menahan kantuk. Dirumah dia mengurung dirinya di kamar, dia hanya keluar kamar jika dia lapar, haus, atau ingin ke kamar mandi. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, tiga hari sudah hal ini dilakukan oleh Dawi.

Sampai pada hari kamis, terlihat Dawi sangat lemas, tubuhnya terhuyung-huyung bila dia berjalan, kantung matanya terlihat sangat jelas, raut muka menunjukkan keadaannya yang sangat lemah. Hari itu pelajaran kedua adalah olahraga, dia hanya duduk di sisi lapangan melihat teman-temannya berolahraga, dia tidak memiliki kekuatan untuk berolahraga seperti teman-temannya.

Melihat Dawi hanya menatap kosong teman-temannya, Amelia menghampiri Dawi, “Dawi, loe bener-bener butuh istirahat, tampang loe udah bener-bener suram, kelihatan banget loe capeknya.”

Dawi hanya terdiam dan tidak menggubris kata-kata Dawi, Rudi ikut menghampiri Dawi, “Wi, loe mendingan di UKS aja deh kalau kayak gini, loe kelihatan banget menderitanya.”

“Woi, awas ada bola.” Teriak seseorang dari ujung lapangan.

Rudi dan Amelia secara refleks menghindar melihat bola basket yang melambung di atas. Namun Dawi tetap terdiam, dan “Duak”... Bola tepat mengenai kepala Dawi, dan Dawi pun tergeletak di sisi lapangan.

Teman-temannya mengerubungi Dawi, melihat keadaan Dawi yang teman-temannya tahu bahwa sudah empat hari dia tidak tidur.

“Ada panggilin guru dong, jangan pada ngumpul gini doang.” Perintah Rudi kepada temannya.

“Wi, Dawi, bangun dong.” Kata Amelia sambil mengguncang-guncangkan tubuh Dawi yang sangat lemah itu.

“Bentar deh gue periksa Mel.” Kata Rudi sambil memeriksa Dawi.

Beberapa saat Rudi memeriksa, wajahnya tampak kaget, “Kenapa Rud? Dia kenapa?” Tanya Amelia panik.

“Mel, kayanya sekarang dia bukan tidur deh.” Kata Rudi, “Dia pingsan.”

*

Sekarang aku ada dimana? Apa aku sudah berada di nirwana? Tidak, tidak mungkin aku berada disurga. Apa aku masih bisa menggerakkan tubuhku seperti biasanya? Kenapa rasanya berat sekali menggerakkan tubuh ini. Mata ini kenapa sulit sekali terbuka? Sepertinya rekat sekali mata ini tertutup. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku sekarang?

Banyak pertanyaan dikepala Dawi, namun tak satupun bisa dijawab. Dia berusaha dan berjuang sangat keras hanya untuk membuka kedua matanya. Berusaha dibuka kedua matanya perlahan-lahan, beberapa saat kemudian, matanya sudah mulai terbuka, namun tidak ada yang dapat dia lihat, semuanya gelap. Dia menoleh kekanan, tidak ada yang dapat ia lihat, semua terlihat gelap. Dia menoleh kekiri, terdapat sedikit cahaya lampu dari jendela, tapi ini bukan jendela kamarnya, ini pasti di rumah sakit pikir Dawi.

Dia berusaha membuka penghalang tempat tidur di sisi kirinya, namun tangannya sangat lemah untuk membukanya. Berusaha terus dia membuka, akhirnya terbuka juga penghalang itu walaupun menimbulkan suara yang keras.

Tiba-tiba, lampu putih terang menyala, mata Dawi terbelalak dan tangannya berusaha menutupi matanya yang silau, “Kak Dawi?”

Dia mendengar suara memanggil dirinya, suara yang tidak asing, dia berusaha menyingkirkan tangannya dari matanya, “Lila? Itu Lila ya?” Tanya Dawi dengan suara hampir seperti berbisik.

“Iya kak Dawi, ini Lila kak. Syukurlah kakak akhirnya sadar, semua sangat mengkhawatirkan kakak.” Kata Lila dengan air mata yang mulai meleleh dari matanya.

“Jadi... Apa yang terjadi padaku?”

“Bola mengenai kepala kakak, lalu kakak dibawa kerumah sakit ini, kurang lebih begitulah pendek cerita.” Jelas Lila, “Oh iya, dokter juga tetap menjelaskan bahwa kakak sehat-sehat saja, kalau tidak salah dengar, katanya kakak dalam fase apa gitu. Pokoknya fase yang memang diposisikan seseorang itu tidur dalam jangka waktu panjang, tapi proses pertumbuhannya jadi melambat. Kalau tidak salah... Fase stagnasi deh.”

“Fase stagnasi? Apaan itu? Kok gue bisa kena stagnasi-stagnasi itu?” Tanya Dawi

“Entahlah kak, aku dengar ini kan juga karena nguping pembicaraan ayah dengan dokter, jadi aku tidak begitu jelas menangkap pembicaraan mereka.”

Dawi mengangguk-angguk kecil, walaupun dia sebenarnya tidak mengerti apa yang adiknya katakan, “Sekarang jam berapa? Hari apa hari ini?”

Lila terdiam mendengar kata-kata kakaknya, tangisan Lila mulai meledak, dia memeluk kakaknya dan mulai menangis di pundak kakaknya. Dawi melingkarkan tangannya di tubuh Lila, dia berusaha menenangkan Lila, “Sudah-sudah, jangan menangis lagi, kakak sudah bangun sekarang kan, jadi jangan khawatir lagi.”

Lila menghapus air matanya dengan baju lengan panjangnya, dia mulai bernapas menenangkan dirinya, “Habisnya, kakak tadi nanya jam berapa dan hari apa, aku rasanya berat banget buat jelasin ke kakak, aku kalau kasih tahu kakak, nanti malah jadi beban buat kakak.”

“Sudahlah tidak apa-apa, kakak nggak apa-apa kok, kamu tinggal kasih tau aja kok.” Tanya Dawi lembut.

“Sekarang sudah jam dua subuh kak, dan sekarang hari sabtu.” Jawab Lila sedikit ragu.

Dawi mulai terlihat berpikir, dia berusaha mengingat-ingat sesuatu, “Gue kalau gak salah tidur hari kamis, jadi gue baru tidur dua hari? Atau sudah sembilan hari kakak tidur?” Kata Dawi menerka-nerka.

Lila kembali terisak-isak lagi, dirinya tidak kuat lagi mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, sambil menenangkan dirinya, dia mulai menjelaskan, “Kak, waktu itu kakak terkena bola dikepala kakak, memang benar kecelakaan itu menimpa kakak hari kamis, dan waktu itu kakak bukan tidur, tapi pingsan.”

“Oh begitu ceritanya, lalu apa lagi yang terjadi?” Dawi bertanya seakan-akan dia penasaran dengan kelanjutan sebuah cerita.

“Hari ini bukan hari sabtu dua hari setelah kecelakaan itu, atau seminggu kak. Hari ini sabtu satu bulan lebih setelah kecelakaan itu.” Kata Lila, “Kakak sudah tidur lebih dari sebulan, dokter juga sempat memvonis kakak koma.”

Bagaikan palu godam menimpa Dawi, dia merasa hidupnya sudah hancur. Dawi diam seribu bahasa mendengarkan apa yang dijelaskan Lila. Hal aneh ini sudah membuatnya tidak melakukan apa-apa selama sebulan, hanya tidur di rumah sakit. Dawi mulai terlihat stres, dia ingin sekali berteriak, namun itu semua tidak keluar. Akhirnya Dawi berusaha bangun dari tempat tidurnya.

“Kak Dawi, kakak mau ngapain?”

Ucapan Lila dihiraukannya, Dawi akhirnya menyentuh lantai rumah sakit yang dingin, saat dia berusaha berpijak, dia langsung terjatuh, kakinya sudah tidak kuat menopang tubuhnya lagi. Dawi terduduk dilantai rumah sakit, air matanya mulai menetes satu persatu, tapi dia tidak terisak sama sekali.

Lila menghampiri kakaknya dan berusaha membangkitkan kakaknya, “Sudahlah kakak, jangan paksa diri kakak untuk berdiri, lebih baik kakak ditempat tidur saja.”

Dawi tetap berusaha berdiri diatas kedua kakinya, namun dia kembali terjatuh. Akhirnya dia menyerah, dan membaringkan tubuhnya dilantai rumah sakit yang dingin itu, dia mulai berkata kepada Lila “Lila, jika aku harus menutup mataku tanpa tahu apa aku akan bangun di hari esok, aku lebih baik menutup mataku untuk selamanya.”

Lila hanya berdiri terdiam disamping kakakknya, Dawi membaringkan tubuhnya dilantai. Seperti menyerahkan nyawanya, namun nyawa itu tak kunjung hilang.



*Cerpen ini dibuat tanggal 7 Juli 2010. Ini adalah cerpen terakhir yang kubuat sebelum akhirnya aku mulai masuk kuliah. Tadinya aku mau post cerpen yang sudah kubuat beberapa hari lalu, tapi laptopku rusak dan datanya hilang -,-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak dan Ibunya yang sedang Menyulam

Seorang anak melihat ibunya sedang menyulam di ruang tamu. Sang ibu duduk di sebuah kursi santai dan mulai menyulam dengan tenang. Tampak telaten ibu tersebut memasukkan benang ke dalam jarum, mulai menusukkan jarum ke kain sulamannya, dan mulai menyulam perlahan-lahan. Sang anak yang penasaran dengan apa yang ibunya lakukan mendatangi ibunya. Dia berlari kecil ke hadapan ibu, dan menarik-narik celana ibunya untuk mendapatkan perhatian dari ibunya. "Ibu ibu, sedang apa sih ibu?". "Ibu sedang menyulam sayang, ibu sedang membuat menyulam gambar seorang anak yang sedang berdoa.". "Ooohhh, hebat sekali ibu." Jawab anak tersebut dengan kagum. Ibu tersebut hanya bisa tersenyum mendengar komentar anaknya. Tidak berapa lama, anaknya kembali bertanya kepada ibunya "Bu, kok sulamannya tidak berbentuk seperti anak yang sedang berdoa? Kelihatannya malah seperti benang kusut?". Ibunya diam saja namun tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang berada di

Sindroma Kepala Dua

Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa. Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai as

Mengejar Trotoar

I've made up my mind, Don't need to think it over If I'm wrong, I am right Don't need to look no further, This ain't lust I know this is love But, if I tell the world I'll never say enough 'cause it was not said to you And that's exactly what I need to do If I end up with you [Chorus] Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements? Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere I build myself up And fly around in circles Waitin' as my heart drops And my back begins to tingle Finally, could this be it [Chorus] Or should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would