Langsung ke konten utama

Sisi Kedua Anak Itu

Deus, anak periang, polos dan kekanak-kanakan itu, tak disangka adalah orang yang menyebabkan Aire menangis.
Anak itu sudah SMA namun kelakuan masih seperti anak SMP, dia terlalu jujur akan segala hal, bahkan kata-katanya sering menusuk hati orang, tapi mau bagaimana lagi? Kejujuran memang menusuk hati.
Sedangkan Aire, adalah teman dari Deus sejak SMP, berawal dari teman sekelas, satu kelompok kerja dan akhirnya sahabat. Tapi apa yang terjadi? Mengapa Aire bisa menangis ditangan sahabatnya yang periang itu? Hal itu adalah yang mustahil sepertinya.

Semua ini berawal dari cinta Aire pada seseorang, seorang lelaki yang dianggapnya sempurna, dia adalah orang yang dekat dengan Aire. Awalnya dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap dia, namun seiring berjalannya waktu, ada rasa yang tumbuh dari hati Aire. Dia mengira itu hanya rasa kagum, tapi makin lama semakin bertambah dan akhirnya dia tahu itu cinta.
Semakin dia mendekati orang itu, semakin banyak yang dia ketahui. Lalu, dia merasa terpukul yang sangat dalam, ternyata orang itu sudah mencintai orang lain. Menangis, berteriak memanggilnya, memeluknya dan mengatakan 'I love you', itulah yang diharapkan Aire.

Tak kuasa menahan diri, Aire menceritakan semuanya kepada Deus. Awalnya Deus menanggapinya dengan bercanda dengan harapan Aire kembali tersenyum, namun itu sia-sia, senyum Aire tidak kembali.
Melihat Aire seperti itu, tiba-tiba sesuatu terjadi pada Deus. Pada saat itu kelakuan Deus berubah, raut mukanya menjadi serius, wajahnya terlihata seperti orang lain, dia mengatakan hal yang berbeda dari Deus yang biasanya, yang selalu ceria itu.

Dia mengatakan dengan blak-blakan, bahwa rasa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, bahwa Aire hanya orang yang lemah karena bisa ditundukkan dengan mudah oleh cinta, dia mengatakan hal-hal yang menyakitkan Aire, walaupun Aire tahu bahwa yang dikatakan dari mulut Deus adalah benar, jujur, namun menyakitkan.
Aire akhirnya menangis, dia memeluk Deus dan menyuruh Deus berhenti. Dia tidak marah kepada Deus, karena apa yang dikatakan Deus memang benar, bodoh sekali dirinya bisa ditundukkan dengan mudah oleh cinta.

Deus pun menghibur Aire, kembali Deus mengeluarkan leluconnya seperti biasa, dia kembali seperti semula. Aire menatap Deus, wajahnya kembali seperti Deus yang seperti biasa.
Senyum Aire kembali, dengan kelakuan Deus yang kekanakan itu Aire melihatnya menjadi hal yang lucu. Aire akhirnya sadar, buat apa dia menyesali cinta, buat apa dia menyesali kepergian orang yang disukainya di pelukan orang lain, kalau dia memiliki hal yang lebih berharga dari cinta. Yaitu sahabatnya yang jujur, yang berani berkata kebenaran menyakitkan itu, yang merubah kehidupan Aire menjadi seorang yang tegar.

Setelah itu, Deus melihat temannya dan berlari mendekati temannya, dengan larian kecil khas anak-anak. Sekarang Aire melihat Deus dengan berbeda, bahwa Deus bukan hanya seorang kekanak-kanakan yang tak bisa apa-apa.
Sekarang, Aire selalu mengharapkan sisi kedua Deus datang, karena Aire merasa jatuh cinta dengan sisi kedua Deus.


*Gila, padahal aku jarang (dan nggak terlalu suka) buat cerita tentang cinta, soalnya aku sendiri nggak pernah pacaran atau hal yang sejenisnya, hehehe...*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak dan Ibunya yang sedang Menyulam

Seorang anak melihat ibunya sedang menyulam di ruang tamu. Sang ibu duduk di sebuah kursi santai dan mulai menyulam dengan tenang. Tampak telaten ibu tersebut memasukkan benang ke dalam jarum, mulai menusukkan jarum ke kain sulamannya, dan mulai menyulam perlahan-lahan. Sang anak yang penasaran dengan apa yang ibunya lakukan mendatangi ibunya. Dia berlari kecil ke hadapan ibu, dan menarik-narik celana ibunya untuk mendapatkan perhatian dari ibunya. "Ibu ibu, sedang apa sih ibu?". "Ibu sedang menyulam sayang, ibu sedang membuat menyulam gambar seorang anak yang sedang berdoa.". "Ooohhh, hebat sekali ibu." Jawab anak tersebut dengan kagum. Ibu tersebut hanya bisa tersenyum mendengar komentar anaknya. Tidak berapa lama, anaknya kembali bertanya kepada ibunya "Bu, kok sulamannya tidak berbentuk seperti anak yang sedang berdoa? Kelihatannya malah seperti benang kusut?". Ibunya diam saja namun tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang berada di

Sindroma Kepala Dua

Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa. Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai as

Mengejar Trotoar

I've made up my mind, Don't need to think it over If I'm wrong, I am right Don't need to look no further, This ain't lust I know this is love But, if I tell the world I'll never say enough 'cause it was not said to you And that's exactly what I need to do If I end up with you [Chorus] Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements? Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up, Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere I build myself up And fly around in circles Waitin' as my heart drops And my back begins to tingle Finally, could this be it [Chorus] Or should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would it be a waste Even if I knew my place Should I leave it there Should I give up Or should I just keep chasin' pavements Even if it leads nowhere Or would