Tahun ini adalah tahun yang ajaib bagi umat manusia. Katanya pandemik terakhir yang sangat parah itu Spanish Flu di tahun 1918 dan pandemi berakhir di tahun 1920. Pandemi COVID-19 ini, dengan sudah ditemukannya vaksin dan sedang dalam usaha distribusinya, mungkin akan beneran berakhir 2022 kali ya. Karena katanya sejarah itu berulang kan. Nah, mengingat diriku juga manusia, jadi aku merasakan juga keanehan tahun ini (yha). Buatku pribadi, tahun 2020 memang diawali dengan buruk. 1 Januari 2020 diawali dengan banjir yang melanda rumahku dan pas banget aku pelayan musik di gerejaku. Karena begitu besar kasih Allah kepada manusia seperti yang tertulis pada Yohanes 3 : 16, maka saat itu giliranku untuk melayani Tuhan dengan sungguh. Kuterjang banjir untuk bisa melayani-Nya menjadi pemusik di gereja yang sepi. Puji Tuhan, Beliau masih mengijinkanku untuk melayani dan menjadi berkat ditengah keterbatasan. Tapi siapa sangka bahwa keterbatasan itu akhirnya bablas sampai akhir 2020~
Tetapi seperti yang kutulis di judul blog ini, benar memang 2020 adalah tahun yang buruk dan aku mengakui itu. Teman-temanku mungkin juga akan setuju tahun ini adalah tahun yang tidak baik karena banyak rencana dan resolusi mungkin hancur di tahun 2020. Walaupun buruk, buatku 2020 tidak seburuk itu. Pandemi ini memberikan banyak waktu untukku merefleksikan kembali hidupku dan otomatis membandingkan hidupku tahun ini dengan tahun-tahun lain. Kalau mau lomba buruk-burukan, tahun 2019-ku itu lebih buruk. Penolakan, kegalauan, patah hati, serta banyak ketidaknyamanan di tahun 2019. Capek rasanya melewati tahun 2019, tapi itu tahun yang banyak mengajarkanku kedewasaan. Mulai dari perjalanan di Bali sama pacar hoax (HAHAHA) dan berakhir perjalanan ke Jogja bersama teman-teman penerima beasiswa (kesannya banyak padahal cuma 2 orang sih), banyak pelajaran yang kurasakan dalam hidupku yang menjadikanku pribadi yang lebih baik dan dewasa.
Memulai tahun 2020 dengan buruk di tahun yang buruk, ternyata akhirnya berbuah lumayan manis. Mungkin awal tahun 2020 masih kebawa sial dari tahun 2019 ya, haha.. Aku yang bucin mengalami puncak patah hati di awal 2020, dan patah hatinya salahku sendiri juga sih. Belum sembuh dari patah hati, COVID-19 masuk ke Indonesia. Aku ingat sekali tanggal 2 Maret 2020, aku harus mengajar di BSD tapi keadaanku sedang batuk dan radang. Terus aku mengajar pakai masker N95, hadiah dari pacar hoax. Di tengah mengajar, mahasiswaku bilang kalau ada kasus pertama COVID-19 di Depok. Jeng jeng, langsung parno dong, tapi tetap ngajar total 5 SKS harus diselesaikan #DosenTeladan. Setelah itu, masuklah dalam lockdown atau bahasa kerennya PSBB. Sedihnya, awalnya pandemi ini aku harus kehilangan keponakan dan pakdeku. Hal itu membuatku stres berat, karena aku tahu betapa berbahayanya virus ini tapi keluargaku harus keluar rumah karena mengurusi kematian dua orang tersayang. Puncak stresku adalah bulan April sampai aku menulis blog untuk kematianku sendiri.
Kalau menurut stages of grief, setelah melewati tahap depresi seseorang akan masuk dalam tahap penerimaan. Memang benar itu yang terjadi padaku. Setelah rasa ingin mati tersebut, kesehatan mentalku berangsur-angsur membaik dan aku mulai menemukan silver lining dari pandemi ini. Aku bisa kerja dari rumah dengan baik dan produktif, aku bisa hadir ke pernikahan pacar hoax secara virtual (kemudian yang baca makin penasaran ini pacar hoax siapa dan maksudnya apa sih~), hadir juga ke nikahan sahabat-sahabatku baik langsung di gereja maupun virtual, mulai sering bertemu secara virtual dengan teman-teman, ikut orkestra virtual, lulus sertifikasi dosen (yeay, puji Tuhan banget!), selesai urus jabatan akademik (yeay juga!), bisa cukur rambut sendiri di rumah, dan highlight terbesarnya adalah aku bisa memulai S3 jarak jauh! Meskipun lelah juga dengan perbedaan waktu 6-7 jam, tapi aku senang tetap bisa melanjutkan studi di tengah keadaan tak menentu.
Aku merasa, di pertengahan tahun peralihan antara kerja dan memulai S3, hidupku mulai lebih stabil. Mungkin karena keburukannya stabil, jadinya aku mengalami habituasi dan lama-lama menganggap bahwa kejadian luar biasa ini menjadi biasa. Perubahan juga terjadi pada diriku, setidaknya pada bagian neuroticism yang awalnya mendekati 100% pas aku tes lagi sudah agak berkurang (walau tetap tinggi sih). Bagi yang mengenalku, aku adalah orang yang sangat penuh perencanaan. Sekarang aku lebih bisa berdamai dengan ketidakpastian. Aku adalah orang yang pencemas dan sangat mudah kepikiran bila melakukan suatu kesalahan. Sekarang aku belajar untuk let it go atau kalau di puisi galau yang kubuat tahun ini -> "melepas tambang dan kubiarkan pergi". Karena lebih banyak waktu di rumah saja, aku lebih punya banyak waktu untuk diriku sendiri dan berefleksi sehingga aku jadi lebih bisa memaknai hidupku pribadi dan belajar darinya. Mungkin ini ya maksudnya be mindful with our own life. Aku jadi percaya bahwa kemampuan refleksi diri adalah kemampuan yang membantu mendewasakan diri kita dan dibutuhkan oleh setiap individu. Terdengar sangat eksistensialis ya, haha..
Sambil menulis blog ini, aku jadi ingat bahwa dulu aku punya istilah "Kaleidoskop, Teleskop, Stetoskop" dan kutulis dalam blog ini. Kalau dalam tulisan ini, diriku sudah menuliskan 'kaleidoskop' dan menceritakan momen 'stetoskop'. Lalu bagaimana dengan teleskop atau masa depanku? Mengingat kembali, aku sudah tidak pernah membuat resolusi sejak tahun 2016 atau 2017 (lupa tepatnya kapan). Karena aku belajar bahwa berani berekspektasi juga mesti berani kecewa juga. Tetapi puji Tuhan tanpa resolusi pun aku ternyata cukup sukses menjalani tahun-tahunku belakangan. Aku tetap membuat rencana jangka panjang dan rencananya jadi adaptif. Jadi buat tahun 2021, bisa menjalani hidup sehat tanpa kurang suatu apapun saja menurutku sudah prestasi besar. Kemarin aku baru menonton rekaman webinar dengan KBRI London dan sedikit membahas vaksinasi di Inggris. Sebagai mahasiswa internasional, ternyata aku punya hak yang sama dengan warga negara Inggris. Tapi paling aku baru dapet vaksinnya tahun 2022, haha.. (lowering my expectation to the lowest). Di sisi lain, aku jadi kepikiran sih bagaimana ya nasib keluargaku dan teman-temanku di Indonesia. Yaa, alkitab menuliskan sih "Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Matius 6:34). Masalahnya cemas adalah sifat alamiahku~
Aku gak tahu harus berterima kasih pada 2020 atau nggak, haha.. Banyak orang yang ingin skip 2020 dan pengen langsung ke 2021 aja. Padahal belum tentu 2021 lebih baik daripada 2020 (KOK DARK YHA MOHON MAAP). Apa yang sudah berlalu di 2020 dan apa yang akan terjadi di 2021, que sera sera. Aku punya ambisi khususnya buat S3 dan karirku, tapi salah satu yang kupelajari dari S3 ini belajar untuk mengatur ekspektasi diri. Don't be too hard to yourself and it's okay to have impostor syndrome once in a while, HAHA..
Komentar