Pertama-tama, biarkan aku norak dahulu karena post pertamaku yang aku ketik via blogger di HP *oke gak penting*
Sudahkah ada yang membaca tulisanku sebelummya? Tulisan terburuk, paling menurunkan semangat, sarat dengan energi negatif, dan hal-hal lainnya. Bahkan aku merasa seperti Sutardji Calzoum Bachri yang konon katanya (ibuku) kalau menulis itu dia mabuk-mabukkan dulu baru menulis. Ya, seperti itulah aku merasa saat menulis tentang tulisan sebelumnya dan aku sangat meminta maaf bila tulisan tersebut memengaruhi hidup siapapun >.<
Tulisan itu adalah suatu ajang katarsis untuk diriku, ajang aku mengekspresikan semua hal yang ada di pikiranku. Kalau kata Friedrich Nietszche tulisan itu kuasa dari seorang pengarang, jadi ada motif dibalik pengarang. Motifku seutuhnya adalah suatu tempat aku mengekspresikan diriku. Jujur aku sangat lega saat bisa menumpahkan semuanya dalam tulisan. Karena aku tidak tahu cara lain untuk mengekspresikannya, yaa setidaknya aku tidak tahu pada saat itu.
Aku pernah menulis essay tentang self-defeating behavior dan membahas cara penanganan amarah, kemudian salah satu solusinya adalah dengan cara katarsis. Entah katarsis dengan cara apapun, memukul benda disekitarnya, teriak-teriak, banting barang, pokoknya tujuannya menyalurkan energi marah ke hal lain deh. Tapi ternyata dari hasil temuanku katarsis saat sedang marah malah meningkakan tingkat agresivitas diri. Jadi emang bikin lega, tapi habis itu perilakunya malah lebih agresif (kalau aku sudah bisa edit, nanti aku kasih sumbernya. Lupa soalnya dari mana :p).
Tulisanku tadi juga ternyata dapat mengandung banyak sekali interpretasi dari setiap pembaca. Jacques Derrida, seorang filsuf post-modern dari Perancis, menyatakan bahwa saat tulisan dipublikasikan maka tulisan itu akan berdiri sendiri (kalau gak salah ya, ini melalui temanku dan aku belom baca lebih lanjut, hehe..) Jadi siapapun yang baca terserah mau dipersepsikan, interpretasikan, tafsirkan seperti apa. Kebetulan semester ini aku ambil mata kuliah Hermeneutika dari prodi Filsafat FIB UI, mungkin setelah aku belajar lebih lanjut aku akan ngeh maksudnya interpretasi itu seperti apa.
Aku baru sadar ternyata tulisanku yang kupublikasikan dengan bodohnya ini ternyata berdampak pada kehidupan orang lain. Setidaknya tulisanku yang tadi itu bisa menyerap seluruh energi posotif yang sudah susah payah dikumpulkan. Kalau mau disebut butterfly effect, mungkin ya ini butterfly effect. Apa yang aku lakukan ternyata berdampak pada orang d sekitarku yang bahkan aku tidak sadar itu. Tulisanku bisa memengaruhi hidup orang lain dan maaf kalau ternyata benar adanya.
Sebagai orang dengan locus of control internal, aku merasa bersalah karena telah membuat siapapun yang membaca tulisanku sedih, merasa negatif, menurunkan mood, dan lain-lainnya. Sedih rasanya melihat orang lain sedih.
Life goes on with or without you, hidup ini akan terus bergulir meskipun aku menulis ataupun tidak menulis tulisan tersebut. Kalau kata twitternya Reader's Digest "Ingat setiap masalah ada jalan keluarnya. Tetap optimis hadapi masalah ya, karena pasti ada solusinya". Hmm, sebenarnya aku lebih suka menyebutnya tantangan sih daripada masalah.
The best guru in your life is your life, ini kata-kataku yang terinspirasi oleh teman dekatku :) Aku belajar dari tulisan super negatifku dan menghasilkan positive outcome. Aku berusaha tidak berlarut-larut dalam keterpurukanku dan kebodohanku kemarin. Ternyata memang benar words are stronger than sword, tulisanku ini saja bisa membunuh diriku sendiri dan orang lain.
Diperjalanan aku menulis ini, aku disadarkan kalau aku ini masih manusia. Aku masih bisa marah, aku masih bisa sedih, gak cuma bisa senyum dan senang kepada semua orang bahkan diriku sendiri.
Gnothi Seauton, Know Thyself. I'm sorry for the inconvenience for the last post.
Sudahkah ada yang membaca tulisanku sebelummya? Tulisan terburuk, paling menurunkan semangat, sarat dengan energi negatif, dan hal-hal lainnya. Bahkan aku merasa seperti Sutardji Calzoum Bachri yang konon katanya (ibuku) kalau menulis itu dia mabuk-mabukkan dulu baru menulis. Ya, seperti itulah aku merasa saat menulis tentang tulisan sebelumnya dan aku sangat meminta maaf bila tulisan tersebut memengaruhi hidup siapapun >.<
Tulisan itu adalah suatu ajang katarsis untuk diriku, ajang aku mengekspresikan semua hal yang ada di pikiranku. Kalau kata Friedrich Nietszche tulisan itu kuasa dari seorang pengarang, jadi ada motif dibalik pengarang. Motifku seutuhnya adalah suatu tempat aku mengekspresikan diriku. Jujur aku sangat lega saat bisa menumpahkan semuanya dalam tulisan. Karena aku tidak tahu cara lain untuk mengekspresikannya, yaa setidaknya aku tidak tahu pada saat itu.
Aku pernah menulis essay tentang self-defeating behavior dan membahas cara penanganan amarah, kemudian salah satu solusinya adalah dengan cara katarsis. Entah katarsis dengan cara apapun, memukul benda disekitarnya, teriak-teriak, banting barang, pokoknya tujuannya menyalurkan energi marah ke hal lain deh. Tapi ternyata dari hasil temuanku katarsis saat sedang marah malah meningkakan tingkat agresivitas diri. Jadi emang bikin lega, tapi habis itu perilakunya malah lebih agresif (kalau aku sudah bisa edit, nanti aku kasih sumbernya. Lupa soalnya dari mana :p).
Tulisanku tadi juga ternyata dapat mengandung banyak sekali interpretasi dari setiap pembaca. Jacques Derrida, seorang filsuf post-modern dari Perancis, menyatakan bahwa saat tulisan dipublikasikan maka tulisan itu akan berdiri sendiri (kalau gak salah ya, ini melalui temanku dan aku belom baca lebih lanjut, hehe..) Jadi siapapun yang baca terserah mau dipersepsikan, interpretasikan, tafsirkan seperti apa. Kebetulan semester ini aku ambil mata kuliah Hermeneutika dari prodi Filsafat FIB UI, mungkin setelah aku belajar lebih lanjut aku akan ngeh maksudnya interpretasi itu seperti apa.
Aku baru sadar ternyata tulisanku yang kupublikasikan dengan bodohnya ini ternyata berdampak pada kehidupan orang lain. Setidaknya tulisanku yang tadi itu bisa menyerap seluruh energi posotif yang sudah susah payah dikumpulkan. Kalau mau disebut butterfly effect, mungkin ya ini butterfly effect. Apa yang aku lakukan ternyata berdampak pada orang d sekitarku yang bahkan aku tidak sadar itu. Tulisanku bisa memengaruhi hidup orang lain dan maaf kalau ternyata benar adanya.
Sebagai orang dengan locus of control internal, aku merasa bersalah karena telah membuat siapapun yang membaca tulisanku sedih, merasa negatif, menurunkan mood, dan lain-lainnya. Sedih rasanya melihat orang lain sedih.
Life goes on with or without you, hidup ini akan terus bergulir meskipun aku menulis ataupun tidak menulis tulisan tersebut. Kalau kata twitternya Reader's Digest "Ingat setiap masalah ada jalan keluarnya. Tetap optimis hadapi masalah ya, karena pasti ada solusinya". Hmm, sebenarnya aku lebih suka menyebutnya tantangan sih daripada masalah.
The best guru in your life is your life, ini kata-kataku yang terinspirasi oleh teman dekatku :) Aku belajar dari tulisan super negatifku dan menghasilkan positive outcome. Aku berusaha tidak berlarut-larut dalam keterpurukanku dan kebodohanku kemarin. Ternyata memang benar words are stronger than sword, tulisanku ini saja bisa membunuh diriku sendiri dan orang lain.
Diperjalanan aku menulis ini, aku disadarkan kalau aku ini masih manusia. Aku masih bisa marah, aku masih bisa sedih, gak cuma bisa senyum dan senang kepada semua orang bahkan diriku sendiri.
Gnothi Seauton, Know Thyself. I'm sorry for the inconvenience for the last post.
Komentar