Bagi yang mengikuti akun Instagram @christcba (sekalian promosi), mungkin tahu kalau aku memutuskan untuk puasa sosial media pada tanggal 25 November. Hal ini aku lakukan pasca aku menjadi pembicara untuk pengembangan potensi, minat, dan bakat, dan bilang bahwa banyak millenials memiliki waktu yang panjang untuk beraktivitas dengan HPnya alih-alih meningkatkan kemampuannya. Pada waktu itu semua mengangguk dan mengakui bahwa sosial media adalah aplikasi yang paling banyak dibuka ketika cek HP, bahkan bisa 12 jam sehari. Setelah menjadi pembicara, aku jadi ikutan merenung mengingat aku juga millenials. Saat aku buka screentime diri sendiri, benar bahwa aku rerata membuka HP 5-6 jam sehari dan waktu untuk buka sosial media (di luar whatsapp) bisa sampai 2-3 jam.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk puasa sosial media (atau detoks bahasa kerennya). Waktu itu aku sign out dari semua sosial media dan bahkan uninstall di HP. Nazarnya sih aku mau buka sosial media lagi pada saat Natal, jadi momennya untuk mengucapkan selamat Natal ke seluruh dunia. Tapi ternyata.......... Buat di Instagram dan Twitter keterusan sampai 29 Desember, haha.. Bahkan Facebook baru buka lagi awal Januari, tapi tidak aku apa-apain. Sesekali cuma lihat, pernah komentar sekali, setelah itu sudah '-' Makanya kalau buka FBku sekarang, isinya cuma tag foto atau update dari orang lain. Aku ternyata lebih menikmati hidupku tanpa sosial media.
Lalu bagaimana rasanya puasa sosial media? Awalnya sih TERSIKSA BANGET YHA MALIH!!! Mana seketika aku mau puasa, banyak banget pula momen-momen yang rasanya postable banget. Inget banget di awal-awal puasa, dapet kabar kalau Stephen Hillenburg meninggal (pencipta Spongebob), hari-hari terakhir kuliah, ada pameran tugas akhir kuliah, temen nikah, ketemuan temen-temen yang sudah lama tak ditemui (#ExtrovertProblem), prestasiku ikut lari 5 kilometer pertama kali (I survived!), dan banyak hal-hal yang rasanya pengen aku taroh di Instastory atau post di Facebook.
Sebagai kompensasi aku gak bisa posting apa-apa, aku jadi sering hubungin teman-temanku dan kabar-kabarin aku sedang melakukan apa, haha.. Tetiba aku jadi lebih aktif di grup-grup gitu ye kan. Dari melakukan ini ternyata aku jadi lebih banyak berinteraksi dengan teman-temanku. Satu hal yang aku pelajari adalah bahwa interaksi di sosial media itu cenderung satu arah. Kita lihat post teman kita di sosial media dan merasa bahwa kita sangat update dengan kehidupan teman. Padahal kita tidak ajak teman kita itu ngobrol dan tahunya juga karena kepo, cuma jadi ada rasa sudah tahu banget dan deket. Kalau misalnya aku kirim foto aku sedang ngapa-ngapain ke teman, komunikasinya jadi dua arah. Jadi ada obrolan dan cerita dibalik apa yang sedang terjadi.
Dari tidak membuka sosial media sama sekali, aku juga mendapatkan beberapa insight yang sepertinya tidak hanya berguna bagiku tapi bagi teman-teman juga (makanya aku pengin bikin laporannya di blog, hehe..):
1. Be more Mindful, live on the present
Dalam psikologi, ada suatu istilah untuk seseorang tidak hidup di masa lalu maupun masa depan, tetapi di masa kini. Konsep tersebut disebutnya sebagai mindfulness. Bagi yang tertarik lebih lebih lanjut bisa dibaca di sini. Tanpa sosial media, aku merasa benar-benar 'hadir' dalam lingkungan sekelilingku. Makan tanpa geser linimasa, ngobrol lebih fokus, bahkan mau tidur bisa langsung tidur tanpa perlu cek Instagram atau Facebook. Rasanya kesejahteraan hidupku lebih terjaga, haha..
2. Connect more with people around me
Seperti yang tadi aku bilang, tanpa sosial media aku cenderung untuk chat ke teman-temanku untuk membicarakan apa yang terjadi pada diriku. Tidak selalu chat, tapi kadang langsung ajak ketemu biar bisa langsung cerita apa yang terjadi. Kembali ke konsep bahwa komunikasi itu dua arah, tidak hanya kepoin foto-foto lalu merasa kenal betul dengan orang yang kita kepo.
3. There are thousands of interesting thing around me
Entah karena aku memiliki latar belakang psikologi, tetapi aku suka mengobservasi hal-hal yang terjadi di sekelilingku. Karena tidak ada 'hiburan' dari HP (sosmed adalah sesuatu yang menghibur buatku sih~), jadi aku mulai melihat sekelilingku. Kadang aku malah bertemu dengan orang-orang yang sudah lama tidak kutemui kalau sedang lihat-lihat di mall atau memperhatikan sekeliling di dalam Trans Jakarta. Apa yang diobservasi? Apapun. Orang-orang yang lewat, penampilan mereka, pemandangan, keadaan jalan, apa pun yang bisa dilihat dan dipersepsikan. Ini merupakan bagian dari mindfulness yang kubicarakan di awal juga.
4. Our cellphone has many uses
Oke ini mungkin terdengar bodoh, tapi aku baru ngeh kalau sebenarnya teknologi bernama telepon genggam ini canggih sekali~ Aku punya HP keren-keren, tapi dipakai hanya untuk sosial media. Padahal banyak sekali aplikasi yang bisa membantu untuk memberdayakan hidup kita. Sejak tanpa sosial media, aku jadi baca koran tiap pagi alih-alih geser-geser linimasa (untung di kampus langganan koran online). Banyak sebenarnya aplikasi-aplikasi di HP yang bisa membantu untuk mengembangkan diri, tergantung bagaimana penggunaannya.
5. Awkward potato? Don't use your cellphone
Ini salah satu hal yang kuperhatikan ketika berada dalam situasi sosial. Biasanya orang-orang cenderung menggunakan telepon genggamnya ketika mati gaya. Seakan-akan ngecek HP dan buka Instagram lalu naik turun lihat linimasa akan membantu untuk menghilangkan awkward potato yang terjadi. Aku pun memang membiasakan diri jika bersama dengan orang lain untuk tidak fokus dengan HP dan mengajak ngobrol. Hitung-hitung melatih kemampuan bersosialisasi.
Setelah sebulan puasa, aku merasakan lebih banyak manfaat daripada mudaratnya. Walaupun kalau aku cek HP lagi, screen time yang aku miliki sama banyak ketimbang sebelum puasa sosial media. Namun pada saat puasa, aku menggunakan HP lebih banyak untuk berkoneksi dengan orang lain ketimbang sekedar kepo di sosial media seseorang. Kadang memang ada sih kebutuhan untuk kepo dan post di sosial media dan menurutku hal itu adalah hal yang wajar. Tetapi jangan sampai ketagihan dan menjadi 'racun' bagi kehidupan kita. Kalau memang sudah sadar ternyata mengganggu kehidupan sehari-hari, mulai mengurangi waktu atau puasa adalah hal yang wajar kok.
Lalu bagaimana dengan diriku sekarang? Aku masih memiliki semua sosial media dan tidak tiap menit aku buka. Bahkan sekarang sudah bisa tidak membuka sosial media seharian atau tidak geser-geser linimasa kalau sedang bersama teman. Sepertinya memang bukan dosa sosial medianya sih, tapi dosa kontrol diri yang kadang sulit dikendalikan, haha..
Pada akhirnya aku memutuskan untuk puasa sosial media (atau detoks bahasa kerennya). Waktu itu aku sign out dari semua sosial media dan bahkan uninstall di HP. Nazarnya sih aku mau buka sosial media lagi pada saat Natal, jadi momennya untuk mengucapkan selamat Natal ke seluruh dunia. Tapi ternyata.......... Buat di Instagram dan Twitter keterusan sampai 29 Desember, haha.. Bahkan Facebook baru buka lagi awal Januari, tapi tidak aku apa-apain. Sesekali cuma lihat, pernah komentar sekali, setelah itu sudah '-' Makanya kalau buka FBku sekarang, isinya cuma tag foto atau update dari orang lain. Aku ternyata lebih menikmati hidupku tanpa sosial media.
Notification Facebook sebulan lebih ditinggal~ |
Lalu bagaimana rasanya puasa sosial media? Awalnya sih TERSIKSA BANGET YHA MALIH!!! Mana seketika aku mau puasa, banyak banget pula momen-momen yang rasanya postable banget. Inget banget di awal-awal puasa, dapet kabar kalau Stephen Hillenburg meninggal (pencipta Spongebob), hari-hari terakhir kuliah, ada pameran tugas akhir kuliah, temen nikah, ketemuan temen-temen yang sudah lama tak ditemui (#ExtrovertProblem), prestasiku ikut lari 5 kilometer pertama kali (I survived!), dan banyak hal-hal yang rasanya pengen aku taroh di Instastory atau post di Facebook.
Sebagai kompensasi aku gak bisa posting apa-apa, aku jadi sering hubungin teman-temanku dan kabar-kabarin aku sedang melakukan apa, haha.. Tetiba aku jadi lebih aktif di grup-grup gitu ye kan. Dari melakukan ini ternyata aku jadi lebih banyak berinteraksi dengan teman-temanku. Satu hal yang aku pelajari adalah bahwa interaksi di sosial media itu cenderung satu arah. Kita lihat post teman kita di sosial media dan merasa bahwa kita sangat update dengan kehidupan teman. Padahal kita tidak ajak teman kita itu ngobrol dan tahunya juga karena kepo, cuma jadi ada rasa sudah tahu banget dan deket. Kalau misalnya aku kirim foto aku sedang ngapa-ngapain ke teman, komunikasinya jadi dua arah. Jadi ada obrolan dan cerita dibalik apa yang sedang terjadi.
Dari tidak membuka sosial media sama sekali, aku juga mendapatkan beberapa insight yang sepertinya tidak hanya berguna bagiku tapi bagi teman-teman juga (makanya aku pengin bikin laporannya di blog, hehe..):
1. Be more Mindful, live on the present
Dalam psikologi, ada suatu istilah untuk seseorang tidak hidup di masa lalu maupun masa depan, tetapi di masa kini. Konsep tersebut disebutnya sebagai mindfulness. Bagi yang tertarik lebih lebih lanjut bisa dibaca di sini. Tanpa sosial media, aku merasa benar-benar 'hadir' dalam lingkungan sekelilingku. Makan tanpa geser linimasa, ngobrol lebih fokus, bahkan mau tidur bisa langsung tidur tanpa perlu cek Instagram atau Facebook. Rasanya kesejahteraan hidupku lebih terjaga, haha..
2. Connect more with people around me
Seperti yang tadi aku bilang, tanpa sosial media aku cenderung untuk chat ke teman-temanku untuk membicarakan apa yang terjadi pada diriku. Tidak selalu chat, tapi kadang langsung ajak ketemu biar bisa langsung cerita apa yang terjadi. Kembali ke konsep bahwa komunikasi itu dua arah, tidak hanya kepoin foto-foto lalu merasa kenal betul dengan orang yang kita kepo.
3. There are thousands of interesting thing around me
Entah karena aku memiliki latar belakang psikologi, tetapi aku suka mengobservasi hal-hal yang terjadi di sekelilingku. Karena tidak ada 'hiburan' dari HP (sosmed adalah sesuatu yang menghibur buatku sih~), jadi aku mulai melihat sekelilingku. Kadang aku malah bertemu dengan orang-orang yang sudah lama tidak kutemui kalau sedang lihat-lihat di mall atau memperhatikan sekeliling di dalam Trans Jakarta. Apa yang diobservasi? Apapun. Orang-orang yang lewat, penampilan mereka, pemandangan, keadaan jalan, apa pun yang bisa dilihat dan dipersepsikan. Ini merupakan bagian dari mindfulness yang kubicarakan di awal juga.
4. Our cellphone has many uses
Oke ini mungkin terdengar bodoh, tapi aku baru ngeh kalau sebenarnya teknologi bernama telepon genggam ini canggih sekali~ Aku punya HP keren-keren, tapi dipakai hanya untuk sosial media. Padahal banyak sekali aplikasi yang bisa membantu untuk memberdayakan hidup kita. Sejak tanpa sosial media, aku jadi baca koran tiap pagi alih-alih geser-geser linimasa (untung di kampus langganan koran online). Banyak sebenarnya aplikasi-aplikasi di HP yang bisa membantu untuk mengembangkan diri, tergantung bagaimana penggunaannya.
5. Awkward potato? Don't use your cellphone
Ini salah satu hal yang kuperhatikan ketika berada dalam situasi sosial. Biasanya orang-orang cenderung menggunakan telepon genggamnya ketika mati gaya. Seakan-akan ngecek HP dan buka Instagram lalu naik turun lihat linimasa akan membantu untuk menghilangkan awkward potato yang terjadi. Aku pun memang membiasakan diri jika bersama dengan orang lain untuk tidak fokus dengan HP dan mengajak ngobrol. Hitung-hitung melatih kemampuan bersosialisasi.
Setelah sebulan puasa, aku merasakan lebih banyak manfaat daripada mudaratnya. Walaupun kalau aku cek HP lagi, screen time yang aku miliki sama banyak ketimbang sebelum puasa sosial media. Namun pada saat puasa, aku menggunakan HP lebih banyak untuk berkoneksi dengan orang lain ketimbang sekedar kepo di sosial media seseorang. Kadang memang ada sih kebutuhan untuk kepo dan post di sosial media dan menurutku hal itu adalah hal yang wajar. Tetapi jangan sampai ketagihan dan menjadi 'racun' bagi kehidupan kita. Kalau memang sudah sadar ternyata mengganggu kehidupan sehari-hari, mulai mengurangi waktu atau puasa adalah hal yang wajar kok.
Lalu bagaimana dengan diriku sekarang? Aku masih memiliki semua sosial media dan tidak tiap menit aku buka. Bahkan sekarang sudah bisa tidak membuka sosial media seharian atau tidak geser-geser linimasa kalau sedang bersama teman. Sepertinya memang bukan dosa sosial medianya sih, tapi dosa kontrol diri yang kadang sulit dikendalikan, haha..
Komentar