Langsung ke konten utama

Bahasa

Beberapa hari yang lalu, ketika aku dan temanku sedang membahas tentang bahasa dan kembali pada pertanyaan "apakah manusia bisa berpikir tanpa bahasa?", aku teringat pernah membaca suatu puisi yang ada di buku tentang anak luar biasa. Waktu itu pembahasannya mengenai anak tuna rungu yang tidak bisa berbicara, kemudian puisi tersebut dijadikan ilustrasi. Pertama kali baca aku terenyuh karena memang unyu sekali itu puisinya. Oh iya, uniknya puisi tersebut bukanlah seperti puisi biasa yang hanya berisi tulisan, tetapi puisi ini ada gambarnya. Eh, daritadi aku bahas tentang puisinya tanpa tahu puisi apa dan siapa, haha.. Baiklah jadi ini puisinya...


Berdasarkan hasil kepo, puisi yang berjudul "Deaf Donald" ini dibuat oleh orang bernama Shel Silverstein. Dia adalah penulis puisi dan pengarang banyak buku anak-anak, tapi aku tidak terlalu tahu banyak tentang apa bukunya dan siapa dia sebenarnya. Biasanya yang dibahas dari puisi ini adalah tentang miskomunikasi. Sue tidak paham apa maksud Donald memberikan gestur seperti itu. Sue tidak memiliki pengetahuan akan bahasa isyarat, sehingga gestur yang diberikan Donald tidak memiliki makna bagi Sue.
Entah kenapa aku sedang bingung mau nulis apa jadi yaa selamat menginterpretasi sendiri apa yang diinginkan pengarang terhadap puisi di atas :p

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sindroma Kepala Dua

Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa. Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai as...

Power of Word for me as a Human

Pertama-tama, biarkan aku norak dahulu karena post pertamaku yang aku ketik via blogger di HP *oke gak penting* Sudahkah ada yang membaca tulisanku sebelummya? Tulisan terburuk, paling menurunkan semangat, sarat dengan energi negatif, dan hal-hal lainnya. Bahkan aku merasa seperti Sutardji Calzoum Bachri yang konon katanya (ibuku) kalau menulis itu dia mabuk-mabukkan dulu baru menulis. Ya, seperti itulah aku merasa saat menulis tentang tulisan sebelumnya dan aku sangat meminta maaf bila tulisan tersebut memengaruhi hidup siapapun >.< Tulisan itu adalah suatu ajang katarsis untuk diriku, ajang aku mengekspresikan semua hal yang ada di pikiranku. Kalau kata Friedrich Nietszche tulisan itu kuasa dari seorang pengarang, jadi ada motif dibalik pengarang. Motifku seutuhnya adalah suatu tempat aku mengekspresikan diriku. Jujur aku sangat lega saat bisa menumpahkan semuanya dalam tulisan. Karena aku tidak tahu cara lain untuk mengekspresikannya, yaa setidaknya aku tidak tahu pada saat...

Sebuah Mimpi Tentang Pendeta

Judul ini merupakan judul salah satu sebuah file text document di my document laptopku. Aku buat ini tanggal 3 Januari untuk mimpiku tanggal 2 Januari. Sebenarnya aku lupa kenapa aku tiba-tiba menuliskan tentang mimpi ini, hal kuingat adalah saat aku bangun tidur setelah mimpi ini aku secara otomatis menyalakan laptop dan mengetik apa yang ada dalam mimpiku tanggal 2 Januari tersebut. Jadi inilah yang kuketik dalam file tersebut dengan pengubahan seperlunya... 2 Januari 2013 Seorang pendeta sedang khotbah di atas mimbar. Semua jemaatnya sibuk sendiri. Ada yang ngobrol sama sebelahnya, ada yang mainan HP, ada yang lebih sibuk mengurusi anaknya. Kemudian pendeta tersebut terdiam dan turun dari mimbarnya, tapi tidak ada yang sadar kalau pendetanya sudah pergi. Tiba-tiba pendeta itu menghampiri aku dan seorang teman gereja dan mengajak kami 'nongkrong'. Kami ngobrol di lantai, di depan sebuah pintu entah di mana. Akhirnya kita ngobrol-ngobrol sampai akhirnya aku bertanya ...