Hal pertama yang kulakukan sebelum aku menulis postingan ini adalah mengganti judul blog ini. Gak tahu ya hal simpel ini cukup bermakna buatku. Entah kenapa aku memiliki keinginan yang besar untuk menulis sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, jadi aku akan mengeluarkan saja semua yang ada di pikiranku sekarang yaa.
Baru beberapa hari silam, aku bercengkrama dengan seorang temanku tentang menulis di blog. Aku merasa bahwa tulisanku dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu aku bisa menulis dengan bebas, aku merasa apapun bisa kutulis tanpa mempedulikan apapun, kreativitas bisa kutumpahkan dalam tulisan. Sekarang aku berbeda dengan yang dulu. Aku sekarang lebih memerhatikan gramatika penulisan, aku memerhatikan kohesivitas tulisan dari awal sampai akhir, aku menulis dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Aku memang seorang mahasiswa yang mau tak mau harus membuat tulisan-tulisan dengan kaku, perlu mencantumkan sumber, harus memerhatikan berbagai aspek penulisan, dan banyak pertimbangan lain. Tidak mungkin aku menulis esai atau makalah diawali dengan kalimat "Ketika matahari terbenam dan bulan menampakkan wajahnya." Yaa, mungkin saja sih tapi yang pasti aku tidak akan selamat ketika keluar dari kampus. Dulu aku bebas, sekarang aku bebas bertanggung jawab.
Kenapa aku memberikan judul Sindroma Kepala Dua? Karena banyak orang mengatakan ketika kamu menginjak usia 20, kamu akan mulai merasakan ketidaknyamanan dalam dirimu atas perubahan-perubahan yang terjadi. Mulai dari perubahan peran dari seorang remaja menjadi seseorang yang memasuki tahap dewasa awal, tuntutan-tuntutan dari luar yang mengharapkanmu menjadi orang yang seperti ini-itu, tanggung jawab yang semakin besar karena kamu harus bertanggung jawab pada dirimu sendiri atas apapun yang kamu lakukan, dan banyak hal lainnya. Apakah aku mengalaminya? Hmm, mungkin iya, tapi kalaupun terjadi aku sudah biasa dan tidak panik seperti beberapa orang yang kukenal ketika menginjak usia kepala dua. Aku kan didewasakan terlalu cepat. Aku pernah dengar ketika kamu didewasakan terlalu cepat, maka kamu akan bertingkah laku seperti anak-anak meskipun kamu sudah tua. Jadi apakah aku seperti itu? Apakah aku kekanak-kanakan? Tapi sebenarnya batasan kekanak-kanakan dan dewasa itu seperti apa sih?
Dosenku pernah bilang suatu kutipan dari seseorang yang aku lupa siapa, katanya "The only person that likes change is a baby with a wet diaper". Tapi secara tidak sadar juga semakin banyak pengalaman hidup yang orang jalani membuat seseorang perlahan-lahan berubah ke arah yang lebih baik. Hmm, mungkin orang-orang bukan berubah, tapi berkembang. Tidak perlu menunggu kepala dua hadir untuk menyadari bahwa terjadi suatu perubahan.
Entah kenapa aku senang dengan tulisan ini. Tulisan ini tidak bermakna. Tulisan ini benar-benar hanya isi pikiran yang ditumpahkan. Jadi mungkin memang melompat dari satu ide ke ide lainnya dan agak-agak gak nyambung gitu. Tapi disitulah seninya. Ini blog kamu ya kamu bebas menulis apa saja. Tidak ada peraturan yang mengikat, jadi mau aneh kayak apapun ya tetap saja bisa kamu tulis. Tidak perlu takut tidak mencantumkan sumber, karena sumbernya otakku semua. Tidak perlu takut tidak sesuai dengan kaidah penulisan APA, karena ini bukan esai. Terus kenapa judulnya sindroma kepala dua? Karena aku menyadari aku berkembang setelah usiaku menginjak kepala dua. Karena aku memakai kaleidoskop ketika menulis ini, tetapi aku tidak lupa kalau aku juga punya teleskop.
Komentar
ga setuju, ti. bahasa ga bisa mewakilkan pemikiran seutuhnya. kita bisa mikir tanpa perlu bahasa. udah nonton "perfume" kan?
Jadi yang muncul duluan itu berpikir dulu atau bahasa dulu? Yak, mari cari lapak lain kalau mau diskusi :p
BTW, praktek di gereja mana sekarang? Kudengar sudah selesai praktek di GKI KB.